Memasuki tahun politik ini, Jokowi justru lebih tampak menunjukkan kemesraannya dengan sejumlah partai politik. Seolah sedang bersafari, ia kerap tampak berduaan dengan pimpinan parpol pendukung pemerintah.

Mulai dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) pada 2 Januari 2018 lalu. Saat itu Cak Imin yang notabene adalah anggota Komisi I DPR RI justru mendampingi Jokowi saat peresmian Kereta Bandara.

Sebulan berselang, tepatnya pada 3 Februari 2018, giliran Ketum PPP M. Romahurmuziy yang menemani Jokowi seharian penuh. Saat itu, Romi, demikian sapaan akrabnya, menemani Jokowi mulai dari peresmian lapangan tenis indoor dan outdoor di Senayan, Jakarta hingga Peringatan Haul Majemuk Masyayikh di Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jatim.

Bulan berikutnya, Jokowi disambangi oleh sejumlah petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pertemuan yang berlangsung selama 90 menit ini pun dilakukan di Istana Negara, Jakarta, pada 1 Maret 2018.

Yang menghebohkan dari pertemuan ini adalah adanya pembahasan untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres yang akan datang. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Ketua Umum PSI, Grace Natalie usai pertemuan tersebut.

“Jadi hari ini kita lebih ke silaturahmi, sekaligus Pak Jokowi memberikan tips-tips agar PSI bisa mencapai target menang pemilu 2019,” ujar Grace.

Pertemuan ini sempat heboh lantaran membicarakan pemenangan Jokowi di Istana Negara yang notabene merupakan fasilitas negara.

Belakangan, Jokowi pun melakukan olahraga pagi bersama Ketum Golkar, Airlangga Hartarto di Kebun Raya Bogor, Bogor, Jawa Barat, 24 Maret 2018. Dalam pertemuan ini, Jokowi secara terang-terangan jika salah satu topik pembicaraannya dengan Airlangga adalah soal calon wakil Presiden (Cawapres).

Sekjen PBB, Afriansyah Noor pun memandang hal ini memiliki korelasi dengan penarikan dukungan sejumlah aktivis pada Jokowi. Menurutnya, dari berbagai pertemuan tersebut, Jokowi lebih mengutamakan parpol dibandingkan dengan aktivis.

Pria yang akrab dipanggil Ferry ini berpendapat, saat ini Jokowi lebih dekat dengan parpol lantaran dirinya mengetahui jika parpol adalah jembatan untuk nyapres lagi.

“Parpol yang usung Joko, aktivis hanya alat dia saja,” ujarnya.

Ketua Presidium Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI), Yudi Suyuti memiliki pandangan tersendiri mengenai Jokowi. Sebelumnya, ia merupakan relawan Jokowi sejak Pilkada Solo 2010 hingga Pilgub DKI Jakarta 2012.

Dalam Pilgub DKI Jakarta, Yudi sempat membentuk Pemerintah Masyarakat Jakarta Baru (PMJB) dan Sentral Pemberdayaan Masyarakat (SPM) sebagai organisasi pendukung Jokowi-Ahok yang saat itu menjadi salah satu pasangan calon yang bersaing dalam Pilgub DKI Jakarta 2012.

Menurutnya, perubahan Jokowi sudah dimulai setelah menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Ia mengatakan, sejak itu Jokowi sudah mulai tidak konsisten dengan janjinya yang ingin menjadikan masyarakat sebagai mitra pemerintahannya dalam membangun ekonomi kerakyatan.

Yudi mengisahkan, saat itu Jokowi berjanji akan membuat Badan Usaha Milik Rakyat Jakarta (BUMRJ) dengan memberikan permodalan pada rakyat tanpa bunga atau nol Persen bunga. Jokowi pun disebutnya sempat menyampaikan akan mengeluarkan Surat Jaminan Gubernur untuk permodalan.

“Tapi kenyataannya tidak bisa direalisasi. Sebetulnya tidak perlu janji saat kampanye, kalau tidak mampu. Supaya kami tidak mendukungnya dari awal,” ucapnya saat dihubungi Aktual.

Lantaran telah mencium perubahan dalam diri mantan Walikota Solo ini, Yudi dan beberapa kawannya pun menarik dukungannya terhadap Jokowi sampai saat ini.

“Perubahannya adalah Jokowi lebih percaya pada kelompok Konglomerat Taipan. Dibandingkan Tim pemenangan yang benar-benar bersama rakyat,” jelas Yudi.

Hal serupa pun diungkapkan oleh peneliti politik asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Menurutnya, saat ini Jokowi memang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan Pilpres 2014.

Siti mengatakan, hal yang ditonjolkan Jokowi dalam 2014 adalah sebagai pemimpin yang sederhana, pro rakyat, lahir dari wong cilik, dan lain sebagainya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi lebih menonjolkan sisi elitis ketimbang sisi wong cilik-nya.

Perempuan yang menyandang gelar Profesor di bidang politik ini mengemukakan, pendekatan di Pilpres yang lalu memang tidak dapat digunakan lagi oleh Jokowi dalam persiapan Pilpres yang akan datang.

“Karena dulu belum berkuasa, pendekatannya dengan semua, dengan wong cilik, dan bagaimana menganalogikan dirinya dengan wong cilik, dengan kesederhanaan yang berlimpah ruah, kan gitu,” jelas Siti ketika dihubungi Aktual, Sabtu (24/3) lalu.

“Nah ini semua politik pencitraan, makanya sebetulnya yang kita perlukan ada masyarakat yang punya rasionalisasi dalam memilih,” tutupnya.

Nebby/Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan