Jakarta, Aktual.com-Anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan menilai, isu kenaikan rokok hingga Rp50 ribu per bungkus merupakan bentuk kepanikan pemerintah dalam menyikapi survei dan kampanye anti rokok yang digulingkan Bloomberg.

Padahal, kenaikan tersebut malah memicu adanya pabrik rokok ilegal hingga 11 persen, yang bisa mematikan industri rokok lokal.

“Pabrikan rokok kita dulu mencapai 4600-an, tapi kini tinggal 700-an,” ujar Heri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/8).

Yang jadi pertanyaan, lanjut Heri, apakah dengan berkurangnya pabrikan tersebut bakal mengurangi jumlah perokok ?.

Heri justru khawatir, isu ini hanya merupakan “uji coba” kepada masyarakat di tengah kebuntuan pendapatan pajak dan defisit anggaran. Sebab, pajak dari cukai rokok bisa mencapai Rp 146 triliun (2015-2016), sementara dari 100 BUMN yang ada hanya memperoleh keuntungan Rp 30 triliun.

Karenanya, menurut Heri, pemerintah terlalu gegabah jika tiba-tiba menaikkan harga rokok tanpa mengkajinya terlebih dahulu. Utamanya bagi para petani tembakau.

“Jadi, Gerindra akan menolak kalau pemerintah akan menaikkan harga rokok hanya berdasarkan survei. Masyarakat tidak nyaman terhadap negara ini, karena lebih banyak membeli Samsung daripada produk diri sendiri,” tegas ketua DPP Partai Gerindra ini.

Dengan kondisi tersebut, Ia meminta pemerintah untuk tidak membuat ‘kegaduhan’ baru di tengah defisit anggaran, dan tax amnesty jauh dari harapan.

“Jangan-jangan begitu menghadapi kebuntuan pendapatan, pemerintah langsung menaikkan harga rokok. Sementara bayar utang Rp 210 triliun,” pungkas Heri.

Artikel ini ditulis oleh: