Jakarta, Aktual.com – Beberapa waktu lalu, menyusul berakhirnya US-ASEAN Summit di California, Amerika Serikat belum lama berselang, nampaknya ada tekanan yang cukup kuat baik dari Washington maupun dari dalam negeri kita sendiri, agar Indonesia dan ASEAN lebih berkiblat kepada Amerika dan blok Uni Eropa dibandingkan Cina, Rusia dan India.
“Sempat ada desakan kuat kepada pemerintah Indonesia agar ASEAN Dialog Partnership dengan Cina, Rusia dan India, dikurangi intensitasnya cukup dua tahun sekali, atau bahkan jika dimungkinkan, ditiadakan sama-sekali,” kata Peneliti Global Future Institut, Hendrajit yang diterima Aktual, Jumat (2/12)
Jika Indonesia menyerah terhadap desakan dari Amerika dan blok Barat, maka bisa jelas ini akan mengancam Netralitas ASEAN dan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif.
“Namun, lepas dari trend yang mengkhwatirkan tersebut, hal ini membuktikan bahwa pergeseran pesaingan global antar negara-negara adikuasai pada kenyataannya memang sudah beralih ke kawasan Asia-Pasifik dan utamanya Asia Tenggara,” tambahnya.
Menurut Hendrajit, hal ini menggambarkan dengan terang-benderang bahwa Amerika Serika dan blok Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, mulai menaruh kekhawatiran yang cukup besar bahwa persekutuan strategis Cina-Rusia, ditambah lagi India yang bersama-sama dengan Brazil telah menjalin persekutuan strategis dengan Cina dan Rusia, pada perkembangannya akan semakin menjalin kerjasama-kerjasama strategis yang semakin solid dengan ASEAN sebagai mitra strategis.
“Bagi Indonesia, yang pada April 1955 memotori terbentuknya Solidaritas bangsa-bangsa di kawasan Asia-Afrika melalui terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung, maupun Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, sepertinya harus kembali kepada konsepsi Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Karena untuk memotori penyusunan Strategi Perimbangan di Asia Tenggara maupun dengan kawasan-kawasan lainnya, menyusul bergesernya persaingan global negara-negara adikuasa di Asia Tenggara, para stakeholders kebijakan luar negeri RI harus dijiwai oleh Dasa Sila Bandung 1955 dan komitmen Gerakan Non Blok 1961.”
GFI dan Vox Muda melihat ada tren mengkhawatirkan yang kiranya perlu mendapat perhatian para stakeholders kebijakan luar negeri. Yaitu tren ke arah skema Kutub Tunggal alias Unipolar yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa.
“Sehingga sudah saatnya bagi para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, khususnya Kementerian Luar Negeri, untuk menjabarkan konsepsi Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif dengan didasari gagasan untuk membendung dan menetralisasikan skema Uni Polar AS dan Uni Eropa tersebut.”
Itu beberapa alasan penting mengapa perlu pengkajian soal aktualisasi Politik Bebas Aktif. Rencananya pada Senin 5 Desember 2016 mulai dari jam 13.00 hingga 17.00, Global Future Institute dan beberapa mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam media nasional Vox Muda dotcom akan menggelar diskusi terbatas para ahli dan pejabat senior berbagai kementerian, dengan mengangkat tema: Membangun Strategi Perimbangan Kekuatan dalam rangka Mengaktualisasi Kembali Politik Luar negeri RI yang Bebas Aktif.
“Inisiatif yang diselenggarakan GFI dan Vox Muda ini adalah upaya untuk memberi sumbang saran agar Indonesia tidak condong ke salah satu blok atau orbit pengaruh negara-negara yang terlibat dalam persaingan global dewasa ini,seraya tetap menjaga kemandirian nasional pemerintah Indonesia dalam pentas internasional,” tutup Hendrajit. (Musdianto)
Artikel ini ditulis oleh: