Irawan Santoso Shiddiq, SH*
Nietszche berujar lantang, ‘Gott is tott.’ God is dead. Tuhan telah mati. Ungkapan Nietszche menggoyang jagat filsafat. Karena Nietszche menyerang habis filsafat. Kaum sekuler –yang lahir dari pengikut filsafat—menganggap, itulah sumber dari segala sumber ilmu. Mereka menihilkan Wahyu. Tapi Nietszche menganggap, filsafat adalah berhala.
Karena modernitas, system yang lahir dari filsafat materialisme. Pasca renaissance di Eropa. Era kala filsafat diadopsi kaum Eropa. Dari situlah lahir modernisme. Kala segala sesuatunya adalah materi, dianggap sebagai ‘keyakinan baru Eropa.’ Kepercayaan ini yang diekspor kaum barat seantero dunia. Hingga ke nusantara.
Ungkapan Nietszche itu menggeliat kala manusia percaya teori Descartes, Kant, Eisntein, sampai Marx. Mereka taqlid buta bahwa ‘being’ adalah ‘perbuatan manusia.’ Tak ada yang namanya ‘Kehendak Tuhan.’ Einstein, dengan lemparan bolanya, yakin itulah adalah ‘perbuatan dirinya.’ Bukan tergolong ‘Perbuatan Tuhan.’ Dari situlah muncul saintisfe yang dipuja. Hingga menelorkan positivism, kapitalisme, sampai ‘politique.’ Keyakinan ini yang lahir dari sekulerisme-materialisme. Makanya Nietszche berkumandang, ‘God is dead.’ Karena Tuhan telah dibunuh oleh ‘cara berpikir manusia.’ Karena manusia meninggalkan cara pandang Wahyu. Bahkan dia menampik teori Socrates, yang disampaikan Plato. “Saya coba memahami dari keganjilan apa maka Socrates menyamakan akal=kebajikan=kebahagiaan: persamaan paling aneh dari persamaan yang ditentang oleh semua insting Yunani,” tukasnya. Dari sanalah, kata Nietszche, manusia modern hanya melahirkan nihilisme. Kehilangan nilai-nilai.
Vonis Nietszche ini yang kemudian diteruskan Martin Heidegger. Dalam ‘Being and Time,’ Heidegger menegaskan filsafat tak menemukan ‘Kebenaran.’ Hanya melahirkan kebenaran essensialis. Bukan Kebenaran eksistensialis. Dan, ini agama yang dianut dalam modernisme. Manusia terjebak apda ‘kebenaran essensialis’ belaka.
Sebelum Nietszche dan Heidegger, sejatinya telah ada Goethe. Dialah yang tak setuju dengan teori Descartes, dan para materialisme lainnya. Goethe menilai, ‘Mustahil alam semesta dijadikan kalkulasi, karena alam semesta adalah kehidupan.’ Goethe berpandangan, ‘Tumbuhan dan ranting, serta dedaunan, tidaklah bisa dipisahkan.’ Sementara materialisme, menganggap ‘being’ sepenuhnya ‘perbuatan manusia.’ Tak ada ‘Kehendak Tuhan.’ Inilah yang membuat Nietszche makin berang. ‘Tuhan telah mati.’ Karena Tuhan tak lagi dianggap hadir dalam kehidupan manusia, buah cara berpikir manusia modern itu sendiri.
Vonis Nietszche tentu berbanding terbalik dengan Abu Mansyur al Hallaj. Era jauh sebelum mu’tazilah merebak dalam belantara Islam. Al Hallajj terkenal dengan ‘Ana al Haqq.’ Sayalah Tuhan. Nietszche menegaskan sebaliknya. Hallaj berpikir sebaliknya. Karena keduanya berada di jaman berbeda.
Tentu era kini tiada lagi yang berpikir seperti al Hallajj. Melainkan jamak berpandangan ‘Tuhan telah mati.’ Karena agama telah disingkirkan. Sejak Revolusi Perancis, 1789, itulah ajang kudeta pada ‘Kebenaran Tuhan.’ Vox Populi Vox Dei,’ hanya buah kudeta pada ‘Vox Rei Vox Dei.’ Suara Raja Suara Tuhan. Manusia pasca Revolusi, hanya yakin bahwa kekuasaan sepenuhnya ‘kehendak manusia.’ Bukan ‘Kehendak Tuhan.’ Raja, dianggap bukanlah otoritas yang mewakili ‘Kehendak Tuhan.’ Karena, seperti kata Voltaire, kehendak Tuhan diwakili oleh ‘kehendak manusia.’ Makanya, manusia yang menentukan otoritas siapa yang sejatinya bisa memimpin. Bukan lagi otoritas Gereja. Maka, pasca kudeta Perancis, 1789, otoritas Raja dan Roma di eliminasi. Sejak itulah ‘Kehendak Tuhan’ pun disingkirkan. Yang ada hanya ‘kehendak manusia.’ Ini yang divonis Niestzche, manusia modern telah kehilangan moral. “Jika tak ada Tuhan, manusia kehilangan moral. Jika tak ada Tuhan, apa masih ada tujuan?” Tanya Nietszche. Dengan tiada Tuhan, manusia menjadi nihilisme.
Tapi dialektika itu mencuat kala kaum materialisme kebingungan dalam memahami ‘perbuatan baik’ dan ‘perbuatan buruk (musibah).’ Voltaire memvonis, jika Tuhan pencipta ‘perbuatan buruk’ maka Tuhan adalah kejam. Maka dia menolak Tuhan sebagai pencipta musibah. Pandangan ini sejatinya yang dianut kaum majusi kuno. Mereka menyembah api. Karena mereka mendikotomi pencipta ‘perbuatan baik’ dan ‘perbuatan buruk.’ Tolak bala dilakukan pada api, karena dianggap pencipta musibah. Inilah menduakan Tuhan.
Majusi modern tak berbeda. Dikotomi ‘perbuatan Tuhan’ dan ‘perbuatan manusia’ mencuat lagi. Kaum materialisme tentu menganut keyakinan ‘kehendak manusia’ sebagai absolut ‘being.’ Hingga Tuhan tak hadir di alam dunia. Karena sepenuhnya telah diamanahkan pada manusia melalui akal. Ini tentu akal-akalan cara berpikir Socrates, seperti dikisahkan Plato. Makanya dia dihukum mati. Racun. Karena Socrates menentang ‘aqidah’ era itu. Nietszche jelas tak setuju cara pandang materialisme. Dia berpikir, melihat musibah bukanlah hal buruk. Melainkan batu loncatan untuk menuju kehidupan. Fatwa ‘Tuhan tak ada’ itulah yang dianggapnya sebagai ‘God is dead’ yang dilakukan kaum materialisme tadi.
Dari al Hallaj hingga Nietszche, itulah gambaran perang peradaban. Maknanya, perang aqidah. Karena sejak dulu, peradaban kerap diwarnai pada ‘aqidah’ yang berkembang. Modernisme, tentu diwarnai dari paham ateisme yang merebak. Ateisme tentu dimulai dari ‘pembunuhan manusia terhadap Tuhan dalam alam pikiran.’ God is dead tadi. Inilah qadariyya.
Masa al Hallaj, manusia terjebak pada jabariyya akut. Yang meyakini manusia tak berdaya sama sekali pada keadaaan. Hingga seolah Tuhan hadir dalam setiap ‘dzat dan sifat.’ Inilah jabariyya.
Islam telah memberikan jalan keluar. Bukan qadariyya atau jabariyya. Inilah ahlul Sunnah waljamaah. Imam Asy’ari, Imam Mathuridi, Imam Ghazali sampai Shaykh Abdalqadir al Jailani telah memberikan jalan menuju jalan Tauhid yang merujuk ajaran Sunnah.
Dalam kitabnya Al Gunyah, Shaykh Abdalqadir al Jailani memberi terang. ‘Tuhan adalah pencipta perbuatan baik dan buruk.’ Manusia hanya bisa melakukan kasab (usaha). Ini yang ditampik Descartes, Kant, sampai Voltaire. Ajaran mereka, yang kini banyak dianut umat manusia, mengajarkan manusia adalah sumber ‘kehendak.’ Bukan Tuhan. Ujungnya hanya melahirkan nihilisme. Karena cara pandang itu bersumber dari filsafat. Yang oleh Imam Ghazali telah divonis sebagai cara berpikir yang keliru. ‘Jangan sekali-kali mengambil hakekat ajaran agama darinya (filsafat),” katanya dalam Tahafut al Falasifat. Heidegger, era modern, telah mewanti kembali. Kala filsafat diadopsi kaum Eropa, dia menentangnya. “Filsafat tak menemukan Kebenaran,” paparnya dalam ‘The End of Philosophy.”
Inilah kesesatan nyata peradaban modern. Maka manusia modern kehilangan pijakan. Sistem yang lahir, berasal dari cara pandang sekulerisme, yang menampik ‘Kebenaran Tuhan.’ Kapitalisme, positivism, liberalisme, sampai ‘poliique’ ini lahir dari cara pandang ‘God is dead.’ Ujungnya ini membawa pada perbuadakan modern. Karena dalam ‘God is dead,’ segelintir kelompok Berjaya, dan kelompok lainnya merana.
Tak heran, dalam paham ‘neo qadariyya,’ melahirkan ‘ration d’etat’. Pasca kaum agama disingkirkan, maka tak ada lagi otoritas Agama pengawal pemimpin. Para head of state dikawal ‘9 naga.’ Nama lain dari elit banker, yang muncul di hampir di setiap ‘state modern.’
Dalam sistem ‘Kehendak Tuhan,’ maka seorang pemimpin, dikawal 9 Wali. Wali Songo. Bukan ‘9 naga.’
*Penulis adalah Advokat dan Mudhir Idaroh Wustho Jamiyyah Ahlit Thariqah al Mu’tabarah an Nadliyyah (JATMAN) DK Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan