Yang terlihat adalah kesibukan berebut jabatan yang seolah-olah otomatis menjalankan amanah suara rakyat. Dalam kasus SN, sejak perpidahan dukungan ke Jokowi dan kasus pencalonan Ahok, yang terasa adalah rendahnya menjalankan amanah. Sejumlah kader dan petinggi PG bahkan merasakan harkat organisasi makin melorot.

Media sosial makin tajam dan mendalam melecehkan SN. Pada kasus penahanan SN dengan foto SN mengenakan rompi oranye, kesaktian SN dipandang runtuh namun berdampak ke PG. Dari dalam penjara, SN menentukan siapa pelaksana tugas Ketua Umum dan dua orang pelaksana tugas Sekretaris Jenderal.

Tak terbayang, Golkar yang dikenal rapi dalam sistem administrasi organisasi dan mempunyai mesin orgnisasi yang lebih baik karena pengalaman ternyata tunduk pada “otoritas formal” Ketua Umum SN. Hal ini terjadi karena kultur organisasi yang berubah sejak Munas PG 2005.

Saya kira, PG harus menghentikan tindakan pejabat partai yang berdampak melecehkan suara rakyat. Semakin dilecehkan suara rakyat, maka semakin terbuka peluang perolehan suara PG melorot. Sejarah berdirinya Golkar adalah sejarah yang menorehkan persatuan dan kesatuan suara rakyat yang terpecah karena politik identitas lalu berorientasi pada pembangunan berbasis keterampilan berorganisasi. Kini saatnya, PG diselamatkan atau dibonsai.

Oleh: Ichsanuddin Noorsy

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta