Jakarta, Aktual.com – Rencana perubahan sistem Pemilu dianggap sebagai suatu tindakan mubazir, selama tidak disokong dengan mentalitas kader partai politik yang beradab. Secanggih apapun sistem Pemilu, akan sia-sia jika mental politisi masih transaksional.

“Bagi saya, apapun sistem Pemilu-nya, jika budaya politik kita masih tidak beradab, maka sehebat apapun sistem tidak akan mengubah perilaku politik para politisi kita,” ujar akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang di Kupang, Sabtu (21/1).

Menurut dia, Golkar selaku partai yang punya pengalaman menjadi penguasa, harusnya menjadi pembimbing parpol lain. Kata dia, mestinya Golkar-lah yang menjadi ‘trigger’ pembentukan mentalitas politisi yang berbudaya baik dalam memperoleh kekuasaan.

“Semangat Golkar untuk mengubah sistem Pemilu tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah apabila Golkar mampu merubah mental kadernya dari pusat hingga daerah dalam membangun budaya politik yang beradab,” tegasnya.

Selama jadi negara yang merdeka, Indonesia telah memakai berbagai sistem Pemilu, mulai dari sistem proporsional setengah tertutup, proporsional tertutup penuh, setengah terbuka, sampai proporsional terbuka. Kondisi ini menunjukkan labilnya sistem Pemilu di Tanah Air.

“Ketika Golkar mengusulkan agar pemilu 2019 kembali menggunakan sistem proporsional tertutup, maka ini menurut saya menggambar bahwa kita belum matang dalam menganut salah satu sistem sebagai instrumen dalam membangun demokrasi,” jelasnya.

Atang tak memungkiri kalau Parpol memang selalu berkeinginan untuk merubah sistem politik. Namun, hal tersebut jangan didasarkan atas keinginan untuk menutupi kebobrokan partai.

“Golkar jangan lempar batu sembunyi tangan, karena praktik politik uang juga dilakukan oleh Golkar,” tandasnya.[M Zhacky Kusumo]

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid