Jakarta, Aktual.com – Beberapa anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 seperti, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Yasonna H Laoly dan Khatibul Umam Wiranu disebut menerima sejumlah uang dari pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Dalam surat dakwaan dua terdakwa kasus e-KTP yakni Irman dan Sugiharto disebutkan uang tersebut merupakan suksesi pembahasan anggaran proyek e-KTP di Komisi II, dan diberikan jauh sebelum proyek tersebut disahkan.
Ahli hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menjelaskan, dalam undang-undang pemberantasan korupsi, penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan segala bentuk pemberian ke Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat dua minggu setelah pemberian.
“Setiap pejabat publik menerima dana walau tidak minta dan tidak lapor KPK dengan batas waktu dua minggu sama dengan gratifikasi. Jika (pemberian dana) ada maksudnya sama dengan suap,” kata Prof Romli melalui akun twitter resminya @rajasundawiwaha dikutip Senin (20/3).
Pemaparan tersebut lantas dia kaitkan dengan pemberian sejumlah uang dari Andi Narogong kepada anggota Komisi II DPR. Kemudian timbul pertanyaan darinya, mengapa KPK tidak menjerat para wakil rakyat penerima uang itu dengan pasal suap.
Padahal jelas dalam dakwaan terdakwa kasus e-KTP, pemberian uang itu untuk memuluskan pembahasan proyek e-KTP di Komisi II. Di sisi lain, pihak KPK pun tegas menyatakan bahwa pengembalian uang tidak menghilangkan indikasi tindak pidana.
“Oleh karena itu, saya tanya pimpinan KPK, why pasal gratifikasi dan suap tidak didakwakan (ke anggota Komisi II)? Karena pada perencanaan proyek e-KTP buka uang negara.”
Seperti diketahui, dalam surat dakwaan kasus e-KTP sejumlah anggota Komisi II memang dinyatakan menerima uang dari Andi Narogong. Sebut saja Yasonna yang diduga menerima uang 84 ribu dolar Amerika Serikat, Ganjar Pranowo 520 ribu dolar AS, Chaeruman 584 ribu dolar AS, Arief Wibowo 108 ribu dolar AS, Khatibul 400 ribu dolar AS. [M Zhacky Kusumo]
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu