Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Abdul Gani Kasuba (AGK), Gubernur Maluku Utara, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek pengadaan barang dan jasa, serta pemberian izin di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Penyidik KPK juga telah melakukan penahanan terhadap Abdul Ghani Kasuba dan lima orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai tersangka.
“Tim Penyidik menahan tersangka AGK, AH,DI, RA, RI dan ST masing-masing untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 19 Desember 2023 sampai 7 Januari 2024 di Rutan KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (20/12).
Para tersangka lainnya meliputi Kadis Perumahan dan Pemukiman Pemprov Maluku Utara Adnan Hasanudin (AH), Kadis PUPR Pemprov Maluku Daud Ismail (DI), Kepala BPPBJ Pemprov Maluku Utara Ridwan Arsan (RA), ajudan gubernur Ramadhan Ibrahim (RI), dan pihak swasta Stevi Thomas (ST).
Marwata menyatakan bahwa KPK awalnya berencana menahan pihak swasta bernama Kristian Wuisan (KW), namun yang bersangkutan tidak hadir saat dipanggil oleh penyidik.
“Tersangka KW segera kami panggil dan kami mengingatkan agar yang bersangkutan bersikap kooperatif,” ujarnya.
Kasus ini bermula saat Pemprov Maluku Utara melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan anggaran berasal dari APBD. AGK, sebagai Gubernur Maluku Utara, terlibat dalam menentukan pemenang lelang proyek pekerjaan.
Dalam menjalankan tugasnya, AGK memerintahkan AH, DI, dan RA untuk melaporkan proyek-proyek yang akan dikerjakan di Provinsi Maluku Utara. Nilai proyek infrastruktur jalan dan jembatan mencapai lebih dari Rp500 miliar, termasuk pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, serta ruas Saketa-Dehepodo.
AGK kemudian menentukan besaran setoran dari para kontraktor yang memenangkan proyek-proyek tersebut. Selain itu, ia meminta mereka untuk memanipulasi progres pekerjaan agar anggaran segera dicairkan, dengan kesepakatan dari AH, DI, dan RA.
Beberapa kontraktor, seperti KW dan ST, menyatakan kesanggupan memberikan uang kepada AGK melalui RI untuk pengurusan izin pembangunan jalan oleh perusahannya.
Pertukaran uang dilakukan melalui transaksi tunai dan transfer menggunakan rekening bank atas nama pihak lain atau pihak swasta. Penggunaan rekening penampung ini adalah hasil inisiatif bersama AGK dan RI, yang menjaga buku rekening dan kartu ATM sebagai bukti. Awalnya, sekitar Rp2,2 miliar masuk ke rekening penampung.
Uang tersebut kemudian digunakan untuk keperluan pribadi AGK, termasuk pembayaran menginap di hotel dan pembayaran dokter gigi.
Tersangka ST, AH, DI, dan KW didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Tersangka AGK, RI, dan RA didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan

















