Xinjiang, Aktual.com – Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir, membuka akses internasional terkait isu kamp vokasi etnis Uighur selama didasari iktikad baik.

“Kami menyambut baik berbagai komunitas di dunia untuk melihat situasi yang sebenarnya. Kami juga berharap siapa saja yang datang tidak mencampuri urusan dalam negeri China dan persatuan nasional, karena kami ingin membahagiakan masyarakat kami,” ujarnya kepada media asing di Urumqi, dipantau di Jakarta, Minggu (6/1).

Menurut dia, sudah sewajarnya bagi China sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses internasional tersebut.

Namun, dia juga meminta komunitas internasional yang datang bisa memberikan komentar yang objektif sesuai kenyataan di lapangan.

Sebelumnya PBB mendesak China agar membuka akses bagi tim pemantau HAM terkait adanya dugaan pelanggaran HAM di kamp pendidikan vokasi di Xinjiang.

Saat pertemuan eksklusif dengan lima awak media asing di Ibu Kota Xinjiang, Shohrat menyatakan bahwa pemerintahannya memiliki cara tersendiri untuk menanggulangi dan membatasi penyebaran terorisme dan ekstremisme pada etnis Uighur melalui sistem pendidikan dan pelatihan vokasi.

“Berbagai kasus terorisme dan ekstremisme telah mengakibatkan trauma terhadap masyarakat Xinjiang. Sepuluh tahun kami memikirkan penanganannya, termasuk dengan melakukan investigasi. Beberapa personel juga didatangkan ke Xinjiang untuk mengatasi hal ini,” katanya didampingi anggota Dewan Pengarah Partai Komunis China Komite Daerah Otonomi Xinjiang Xu Hairong dan beberapa jajaran pengurus PKC lokal serta jajaran pejabat Kementerian Luar Negeri China itu.

Dari situ, para pejabat pusat dan daerah mulai memikirkan sistem pendidikan dan pelatihan yang kelak bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat Xinjiang, khususnya yang tinggal di wilayah selatan yang sampai saat ini hidup di bawah garis kemiskinan.

Dengan mengacu peraturan perundang-undangan dan regulasi antiterorisme dan anti-ekstremisme, Shohrat menyatakan bahwa kamp vokasi itu bisa menghindarkan masyarakatnya dari pengaruh dan dampak ekstremisme.

Selain itu, 99 persen masyarakat di Xinjiang menyambut baik berdirinya kamp pendidikan vokasi yang di dalamnya memberikan materi pelajaran Bahasa Mandarin, Undang-Undang Dasar, keterampilan, dan kesenian tradisional etnis Uighur.

Oleh sebab itu, pihaknya akan terus melaksanakan pola pendidikan kejuruan untuk membatasi ruang gerak ekstremisme melalui peningkatan skil individu.

“Kami akan bangun satu pusat pelatihan dan pendidikan kejuruan di setiap kabupaten. Untuk unit berskala kecil bisa menampung 300-700 orang, sedangkan terbesar bisa 1.000 orang,” kata Gubernur yang merangkap jabatan sebagai Deputi Sekretaris PKC Komite Xinjiang itu.

Ia mengaku sejak Oktober 2018, beberapa aktivis HAM dan kedutaan asing, termasuk Indonesia telah mendatangi kamp-kamp pendidikan vokasi itu.

“Mereka sangat senang dan mengapresiasinya karena kami sudah terbuka sehingga bagi kami seharusnya masalah ini sudah klir,” ujar politikus berusia 66 tahun itu.

Lembaga pelatihan keterampilan yang didirikan sejak pertengahan 2017 itu telah membantu meningkatkan kemampuan etnis Uighur di wilayah Xinjiang selatan dalam berkomunikasi bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional rakyat China.

“Kalau mereka tidak bisa berbahasa nasional, bagaimana mungkin bisa meningkat taraf hidupnya. Harus ada pelatihan keterampilan secara intensif di kelas dan kursus sekaligus bisa berbahasa nasional yang bisa digunakan untuk menyapa dan membeli atau menjual sesuatu di pasar sebagai komunikasi dasar,” katanya.

Selain itu, mereka dibekali keterampilan di berbagai bidang, seperti pertekstilan, pertanian, kewirausahaan, dan sektor jasa. Peserta pelatihan kamp vokasi pendidikan etnis Uighur di Kota Moyu, Xinjiang, mengikuti kelas tata boga, Sabtu (5/1).

Untuk yang terlibat langsung aksi terorisme dan ekstremisme, Shohrat menyatakan, telah ditangani sesuai hukum yang berlaku.

Atas dugaan jumlah yang tinggal di kamp mencapai satu juta orang, dia menganggapnya terlalu mengada-ada.

“Kalau sampai satu juta orang, absurd sekali karena penduduk Xinjiang saja 20 juta dan 10 juta di antaranya orang Uighur,” ujarnya menyanggah.

Meskipun demikian, dia tidak bisa menyebutkan jumlah pasti peserta pelatihan penghuni kamp karena ada yang masuk dan ada yang keluar.

Demikian pula dengan durasi pendidikan, menurut dia, tergantung kemampuan individu dalam menyerap materi pendidikan di kamp itu.

Lima media asing di China, termasuk Antara, berkesempatan mengunjungi tiga kamp pendidikan vokasi di tiga kota/kabupaten yang dihuni etnis Uighur dari daerah yang berbatasan dengan Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Semua kamp tersebut dilengkapi fasilitas pendidikan dan pelatihan keterampilan yang memadai, termasuk asrama, kantin, dan bus yang mengantar dan menjemput para peserta didik saat pulang liburan akhir pekan.

Shohrat tidak memberikan jawaban yang spesifik saat Antara menanyakan tentang ketersediaan sarana ibadah bagi para penghuni kamp tersebut.

“Mereka membutuhkan sarana keterampilan yang bisa meningkatkan taraf hidup. Kami sudah memberikan kesempatan kepada Anda untuk melihat secara langsung pusat pelatihan itu,” ujarnya.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin