Ilustrasi - Para peserta Pilpres 2024 yang keberatan dengan hasil yang ditetapkan bisa mengajukan gugatan perselisihan ke MK. ANTARA/Fath Putra Mulya.

Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu) sebagaimana dimaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, adalah pihak yang mengajukan permohonan uji formil ini.

“Mengadili: dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon; dalam pokok permohonan, menolak pokok permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Gedung MK RI, Jakarta, Selasa (16/1).

Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengajukan petitum provisi dan petitum pokok permohonan dalam perkara yang terdaftar dengan Nomor 145/PUU-XXI/2023 ini.

Provisi tersebut mencakup permohonan untuk menunda berlakunya Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana dimaknai oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Selanjutnya, dalam pokok permohonan, para pemohon meminta MK menyatakan bahwa pembentukan pasal tersebut tidak memenuhi syarat formil berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.

MK menyatakan bahwa permohonan provisi dan pokok permohonan tidak beralasan secara hukum.

“Permohonan provisi para pemohon tidak beralasan secara hukum; pokok permohonan para pemohon tidak beralasan secara hukum untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo.

Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang dimaknai oleh Putusan MK Nomor 90 tidak memenuhi syarat formil. Terkait dengan hal tersebut, MK menegaskan bahwa tidak ada putusan yang tidak sah meskipun terdapat kecacatan formalitas dalam penyusunan dan pemberlakuan sebuah norma.

“Hal tersebut tidak serta-merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.

Pemohon juga mengajukan agar MK melakukan judicial activism dan menggunakan hukum progresif sebagai pendekatan utama dalam mengadili perkara ini. MK juga menolak dalil tersebut.

“Permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 90 tidak mengandung kecacatan formil, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Guntur.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih menyatakan memiliki pandangan yang berbeda (concurring opinion) terkait putusan tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Sandi Setyawan