Suasana PT Pembangkit Jawa Bali Unit Pembangkit Paiton (PT PJB UP Paiton) di Probolinggo, Jawa TImur, Kamis (17/3). PT PJB UP Paiton adalah salah satu pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan kapasitas terspasang 2 x 400 MW yang memproduksi energi listrik rata-rata sebesar 5.606,18 GWh per tahun. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/nz/16

Jakarta, Aktual.com – Serikat Pekerja PLN mengkhawatirkan program pembangunan listrik 35.000 MW semakin membuat PLN merugi, pasalnya diantara pembangkit yang dibangun oleh independent power produce (IPP) terdapat produk China yang telah terbukti tidak handal.

Ketua umum serikat pekerja PLN, Jumadis Abda mengungkapkan bahwasanya pada program pembangunan 10.000 MW sebelumnya atau dikenal dengan Fast Track Project (FTP), telah membuktikan pembangkit China tidak handal dan memaksa PLN mengeluarkan uang besar untuk pemelihara.

“Program 10.000 MW, PLN banyak membangun pembangkit China dan sekarang sudah terasa di kita, ternyata pembangkit China itu tidak andal dan sering rusak,” kata Jumadis Abda di Jakarta, Jumaat (18/8).

“Ini yang kita sesali di program 35 000 MW ada juga yang pembangkit China, salah satunya yang di Aceh, awalnya mau dibangun oleh PLN tapi dialihkan ke IPP, China lagi. Makanya kita khwatir ini bermasalah lagi,” tuturnya.

Bukan hanya tidak andal, lanjut Jumadis ternyata pembangkit yang dulunya dibangun juga ternyata kemampuan produksinya tidak sesuai apa yang diharapkan.

“Kemampuan operasinya tidak sesui dengan yang diharapkan. Misakan kita bangun pembangkit itu 100 MW, ternyata dia hanya mampu berproduksi 60 hingga 70 MW. Nah ini merugikan operasional kelistrikan disamping itu sering rusak. Ini sangat membebankan keuangan PLN untuk memelihara,” ujarnya.

“Jika kita bandingkan tahun 2015 dengan 2016, selama satu tahun itu biaya pemeliharaan naik Rp 4 triliun, itu sudah konposisi sampai 11 persen, idealnya biaya pemeliharaan itu untuik sistem kelistrikan 4 hingga 6 peren” pungkas dia.

Sebagaimana diketahui, program 10.000 MW ini banyak menjadi temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Diatara yang menjadi sorotan BPK terkait  pengelolaan rantai suplai, pembangunan pembangkit listik 10.000 MW dan penyelenggaraan jaminan sosial.

“IHPS II tahun 2016 memuat ringkasan dari 604 laporan hasil pemeriksaan meliputi 81 LHP 13% pada pemerintah pusat, 489 LHP 81% pada Pemda dan BUMD, serta 34 LHP 6% pada BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaan LHP dimaksud terdiri dari 9 LHP 1% keuangan, 316 LHP 53% kinerja, dan 279 LHP 46% dengan tujuan PDTT,” kata Ketua BPK Harry Azhar di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/4/2017).

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan