Yogyakarta, Aktual.com – Vonis 3 tahun bui terhadap Ariesman Widjaja, mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk yang terbukti menyuap penyelenggara negara terkait Reklamasi Teluk Jakarta, dinilai masih terlalu ringan.
“3 tahun itu terlalu ringan menurut saya, bahkan melihat dampak besar dan nyatanya kasus ini tuntutan KPK yang cuma 4 tahun itu juga terhitung ringan,” ujar Prof Mudzakkier, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia DI Yogyakarta, Sabtu (3/9).
Kepada Aktual, dirinya menegaskan bahwa tuntutan KPK serta vonis yang ditimpakan majelis harusnya setimpal sesuai perbuatan Ariesman yang memimpin Agung Podomoro Land sejak Mei 2015 itu.
Majelis yang diketuai Hakim Sumpeno juga dianggap kurang cermat karena tak menyertakan pidana tambahan dalam putusannya berupa penegasan penghentian Reklamasi meski Majelis telah berkeyakinan bahwa suap bertujuan mempercepat pembahasan dan pengesahan raperda di DPRD DKI demi memuluskan proyek kejahatan lingkungan itu.
“Hakim kan punya kewenangan itu,” tegasnya.
Perihal Ariesman Widjaja yang telah 23 tahun berkarir di Podomoro Grup itu dalam pertimbangan Hakim dianggap pernah berkontribusi pada pembangunan di ibukota Jakarta sehingga jadi alasan peringanan vonis, mengingatkan Mudzakkier pada kasus yang menimpa mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali.
Dijelaskan, sewaktu menjabat, negara mengakui keberhasilan SDA membenahi masalah administrasi haji seperti carut marut catering. Artinya, SDA dinilai berkontribusi pada negara, tapi disaat dirinya terjerat kasus hukum maka vonis hakim maupun tuntutan jaksa tetap berat.
“Kalau kayak gini kan repot jadinya, seperti nggak ada standar cara memberatkan hukuman atau penuntutan saja. Sebaiknya instrumen diskriminatif seperti itu dihilangin lah,” sindir Mudzakkier.
Bergesernya Paradigma KPK
Habitat lembaga anti rasuah yang sejak dulu menangani kasus-kasus strategis yang melibatkan penyelenggara negara kini bagi Mudzakkier paradigmanya telah mulai bergeser.
“Kasus korupsi suap-menyuap sekarang hanya dipahami sebatas masalah uang semata, tidak lagi melihat dampak strategis yang diderita masyarakat,” kata dia.
Dana 2 miliar Rupiah yang disuapkan Ariesman pada Ketua Komisi D DPRD DKI Sanusi terkait Raperda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan perda RTRW strategis pantai utara Jakarta, adalah contoh kejahatan berbentuk kebijakan dimana norma hukum dikontaminasi mengikuti selera si penyuap.
“Menjustifikasi kejahatan itu efeknya luar biasa,” ujar Mudzakkier.
Perbuatan Ariesman Widjaja selaku pimpinan korporasi yang telah merusak lingkungan hidup, sosial dan perekonomian masyarakat di Teluk Jakarta sangat tidak sebanding dengan tuntutan 4 tahun yang dimintakan KPK.
“Mengapa ini tidak dipertimbangkan? Sebuah kejahatan yang kerugiannya tidak bisa dipulihkan kembali. Saya pertanyakan cara kerja KPK yang mulai berubah sejak dipimpin Agus Raharjo,” tegas Mudzakkier.
Nelson Nafis
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Arbie Marwan