Petani memanen sawit di perkebunan milik PTPN VIII di Bogor, Jawa Barat, Minggu (09/9). Ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Indonesia diperkirakan meningkat dalam 3 bulan ini menyusul peningkatan pembelian dan pemangkasan pajak ekspor komoditas ini yang mendorong permintaan. Aktual/DOK

Jakarta, aktual.com — Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Yanto Santoso menilai selama ini ada diskriminasi terhadap tanaman sawit di dunia dan menurutnya rencana pemerintah Indonesia memanfaatkan kawasan hutan yang terlanjur rusak untuk ditanamkan sawit adalah ide yang positif.

Menurut Yanto, tanaman yang tumbuh di negara tropis ini menjadi alasan sawit didiskriminasi. Adapun ia menyebut sawit memiliki banyak manfaat mulai dari pangan hingga energi, dan merupakan tanaman yang produktivitasnya mencapai empat sampai delapan kali lipat daripada bunga matahari dan kedelai, yang menjadi andalan minyak nabati Eropa dan Amerika Serikat.

“Ada perang dagang nih minyak nabatinya internasional. Coba kalau sawit tumbuh di Eropa sama Amerika, mereka [pihak asing] nggak akan mempersoalkan,” kata Yanto kepada wartawan, Senim (13/1).

“Jadi, memang Amerika Serikat dan Eropa, boleh dikatakan dalam bahasa agamanya, mereka iri lah dengan sawit kita yang sangat penuh. Karena kita kan matahari penuh tiap hari, kan? Jadi memang produk sawit di kawasan tropis ini luar biasa,” lanjutnya.

Dengan demikian, menurut Yanto, terjadi diskriminasi terhadap sawit yang berujung pada penilaian negatif dari segelintir Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing terhadap tanaman sawit, yang kerap dinilai menyebabkan deforestasi.

“Itu lah mereka iri. Disuruh lah para LSM. Sekarang mikir deh nih, Ketika orang mau nanam tebu atau nanam aren di kawasan hutan, ada yang ribut nggak? Tidak ada. Begitu sawit, ada kata-kata sawit, langsung ribut kan LSM, kan? Karena mereka dibiayai oleh asing untuk menghantam kita nggak boleh maju,” jelas Yanto.

Ia pun mengajak LSM, para peneliti atau para guru besar yang lain tidak melulu berpikir anti sawit dan beranggapan bahwa pihak yang peduli sawit tak sayang dengan hutan Indonesia.

“Semua bangsa ini sayang sama hutan Indonesia. Kami juga sangat sayang sama hutan, hutan geledegan kita, rimba raya kita, sangat sayang,” ucapnya.

Oleh karena itu, Yanto mengatakan dirinya mendukung rencana Presiden RI Prabowo Subianto memperluas lahan sawit di Indonesia di kawasan hutan yang terlanjur rusak atau terdegradasi karena akan menambah produktivitas kawasan tersebut.

Yanto menjelaskan perluasan lahan sawit di kawasan hutan rusak terdegradasi sendiri bukan deforestasi, melainkan upaya menambah produktivitas lahan yang sudah terlanjur rusak untuk keperluan swasembada pangan dan energi terbarukan.

“Kalau kebun sawit yang ditanamkan Bapak Presiden itu, akan ditanam di kawasan hutan yang sudah rusak, maka itu bukan deforestasi. Karena nggak ada tumbuhan pohon. Sebaliknya akan meningkatkan produktivitas kawasan tersebut,” terangnya.

Adapun ia menilai saat ini sejumlah pihak nampak salah paham dengan rencana pemerintah tersebut, di mana pemerintah disangkakan akan membuka hutan rimba raya untuk dijadikan kebun sawit.

“Saya yakin ada misunderstanding tentang pengertian hutan dan kawasan hutan. Semua yang tidak setuju tampaknya berpikiran bahwa Bapak Presiden atau Menteri LHK akan membuka hutan rimba raya. Dibongkar, dijadikan kebun sawit,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano