Depok, aktual.com – Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Indonesia (UI) Prof. apt. Rani Sauriasari, M.Med.Sci., Ph.D.,menyoroti pentingnya penelitian kesehatan berbasis biokimia klinik di populasi Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penyakit tidak menular kronis.

“Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular kronis yang masuk dalam kategori kedaruratan kesehatan terpesat pada abad ke-21. Penyakit ini memiliki prevalensi yang meningkat pesat, baik secara nasional maupun global,” kata di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Kamis (9/3).

“Jika tidak dicegah, hal ini akan menjadi beban kesehatan terbesar bagi negara,” tambahnya.

Ia mengemukan data International Diabetes Federation (IDF) melalui Diabetes Atlas, jumlah penderita diabetes di Indonesia pada 2021 sebanyak 19,5 juta jiwa dan diperkirakan bertambah hingga 23,5 juta jiwa pada 2030.

Data ini menempatkan Indonesia di urutan kelima di dunia setelah Tiongkok, India, Pakistan, dan Amerika Serikat.

Beberapa studi, kata dia, melaporkan bahwa kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus di Indonesia masih suboptimal dan banyak pasien yang mengalami komplikasi. Komplikasi diabetes melitus, seperti gagal ginjal, menjadi penyakit katastropik yang memerlukan perawatan lama dan biaya besar.

Selain itu, kata dia, komplikasi ginjal pada diabetes melitus yang dikenal sebagai penyakit ginjal diabetik sering kali terlambat diketahui karena keterbatasan pemahaman perkembangan penyakit (patogenesis).

Menurut Rani, perkembangan penyakit ini melibatkan berbagai mekanisme, sehingga biomarker tunggal tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan proses yang terjadi. Sebagai gantinya, sebuah panel biomarker dianggap lebih mewakili berbagai mekanisme perkembangan penyakit dan memiliki potensi sebagai biomarker yang lebih akurat.

Berdasarkan hasil kajian, ada tiga kelompok biomarker dalam patogenesis penyakit ginjal diabetik, yaitu biomarker terkait kerusakan glomerulus, biomarker terkait inflamasi, dan biomarker terkait kerusakan tubulus.

Penyakit ginjal diabetik melibatkan berbagai proses patogenesis yang menyebabkan perubahan biokimiawi tubuh. Informasi dari parameter biokimia berguna untuk proses pemilihan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan pasien, sehingga tercapai luaran yang diinginkan, terhindar dari timbulnya efek samping, serta mengurangi biaya pengobatan.

“Parameter biokimia bermanfaat dalam mengungkap patogenesis penyakit komplikasi ginjal diabetik melalui metode studi metabolomik dan proteomik. Ini dapat digunakan untuk menilai efektivitas, keamanan, dan kepatuhan pengobatan pasien,” katanya.

Ia menambahkan bahwa keamanan penggunaan obat harus dipantau melalui berbagai aktivitas farmakovigilans yang bertujuan mendeteksi masalah keamanan obat, mendeteksi peningkatan frekuensi kejadian efek samping pada waktu dan atau populasi tertentu, mengidentifikasi faktor risiko, dan mengkuantifikasi risiko.

Selain itu, aktivitas farmakovigilans juga mencakup komunikasi informasi keamanan obat kepada tenaga kesehatan, stakeholder terkait, dan masyarakat.

Pencegahan meluasnya kejadian tidak diinginkan (KTD) dalam kasus penyakit ginjal dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan deteksi dan pelaporan KTD kepada regulator.

Pasien dan tenaga kesehatan dapat melaporkan KTD yang dialami atau diketahui saat menggunakan obat kepada Pusat Monitoring Efek Samping Obat (Pusat MESO) Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui laman https://e-meso.pom.go.id/ dan aplikasi e-meso mobile.

Data hasil laporan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung studi penggunaan obat pada populasi Indonesia yang diperlukan dalam pengambilan keputusan berbasis bukti guna meningkatkan kualitas kesehatan sumber daya manusia Indonesia, demikian Rani Sauriasari.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: Rizky Zulkarnain