Jakarta, Aktual.com – Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Prof. Budi Setiyono mengingatkan bahwa praktik dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia mulai mengalami kemunduran/resesi sehingga itu berpotensi menjadikan negeri ini dapat kembali mengadopsi sistem otoriter sebagaimana pernah berlaku pada rezim Orde Baru.
Oleh karena itu, Budi Setiyono, wakil rektor Universitas Diponegoro, berpendapat seluruh kelompok masyarakat, di antaranya partai politik, insan pers, lembaga swadaya masyarakat (NGO), kalangan intelektual, wajib bersama-sama menjaga dan mengembalikan marwah demokrasi agar menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
“Indonesia sedang mengalami proses kemunduran demokrasi yang dirumuskan dalam berbagai istilah, mulai dari kemunduran atau regression, decline, back sliding, hingga putar balik ka arah otoritarianisme atau authoritarian turn dan otoritarianisme gaya baru,” kata Budi Setiyono saat menyampaikan pidato kuncinya pada sesi seminar internasional bertajuk Social Media Activism, Digital Resilience, and Resistance to Democratic Regression, sebagaimana diikuti di Jakarta, Senin (26/4).
Dalam kesempatan itu, ia menerangkan kemunduran demokrasi di Indonesia dapat dimaknai sebagai sebuah proses yang secara perlahan-lahan terjadi sampai akhirnya nilai-nilai dan praktik demokrasi memudar dan tidak lagi ditemukan dalam sistem pemerintahan dan tata kelola politik.
“Eve Warburton dan Thomas Power pada 2019 menjelaskan kemunduran demokrasi sebagai proses yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai dengan situasi aktor-aktor politik berpaling dari nilai-nilai dan institusi demokrasi,” kata Budi menerangkan.
“Ini tidak serta merta akan berjalan menuju otoritarianisme. Namun, regresi demokrasi secara perlahan melahirkan tipe lain dari rezim politik yang tidak sepenuhnya demokratis, tetapi tidak sepenuhnya diktator,” ujar dia menambahkan.
Kondisi semacam itu kemudian dikenal dengan istilah demokrasi yang tidak liberal (illiberal democracy), sistem otoriter yang kompetitif, atau rezim campuran.
Setidaknya ada empat faktor yang menjadi alasan mengapa konsolidasi atau upaya menguatkan nilai-nilai, prinsip, dan praktik demokrasi masih cukup lemah, kata Prof. Budi Setiyono.
Pertama, transisi politik di Indonesia Era Reformasi masih mempertahankan jejak-jejak tokoh dan pemikiran pada masa Orde Baru.
“Walaupun kita sudah transisi demokrasi sejak 1998, tetapi political configuration (bentuk sistem politik) yang disusun pada masa Orde Baru masih bertahan dalam beberapa aspek, termasuk kenyataannya saat ini ada beberapa tokoh utama Orde Baru masih bertahan pada Era Reformasi,” kata Budi menjelaskan.
Kedua, transisi menuju sistem demokrasi di Indonesia tidak diikuti oleh perubahan yang menyeluruh pada birokrasi, sistem yudisial, atau militer, serta belum ada perpindahan kekuasaan yang besar pada para pemilik modal/pelaku usaha.
“Dalam konteks itu, pejabat-pejabat lama masa Orba (yang bertahan) dalam birokrasi, kehakiman, hukum, dan militer, masih banyak terkooptasi (terpengaruh, Red) pola-pola lama Orba,” terang Budi.
Ketiga, adanya potensi perpecahan, polarisasi, dan ketidakteraturan sosial dalam praktik demokrasi, sebut Budi.
“Satu sisi demokrasi memberi kebebasan, tetapi juga menyebabkan perpecahan dan ketidaktertiban sosial. Masing-masing pihak mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya menggunakan teknik-teknik dan metode yang bisa jadi bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri,” kata dia menjelaskan.
Cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi di antaranya kecenderungan aktor-aktor politik menggunakan kekerasan saat menghadapi perbedaan. Padahal, kekerasan bukan cara yang demokratis menyelesaikan masalah, karena cara yang demokratis adalah diskusi, negosiasi, penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur hasil kesepakatan bersama, ujar dia.
Terakhir, mundurnya demokrasi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aktor-aktor politik, sistem politik dan peradilan di Tanah Air, terang Guru Besar Universitas Diponegoro Budi Setiyono. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin