Jakarta, aktual.com – Alumnus Suriah Najih Arromadloni alias Gus Najih menilai apa yang terjadi di Suriah adalah dampak dari konflik politik berkepanjangan dan bukan akibat konflik agama.
Hal itu disampaikannya menyoroti konflik internal yang terjadi di Suriah hingga mengakibatkan tergulingnya Presiden Bashar Al-Assad, dan relevansinya terhadap masyarakat Indonesia,
“Kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah berupaya mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat dengan membingkai perjuangan mereka sebagai jihad. Namun, tindakan mereka lebih berkaitan dengan ambisi politik daripada murni keagamaan,” kata Gus Najih dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (19/12).
Gus Najih, yang juga pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, menekankan pentingnya untuk memahami bahwa banyak narasi yang berkembang seringkali membingkai seruan jihad dalam konteks yang sangat sempit.
Konflik yang terjadi di Timur Tengah seringkali dipolitisasi banyak pihak yang berusaha memanfaatkan isu-isu agama untuk kepentingan kelompoknya. Seperti yang tengah terjadi di Suriah, banyak narasi jihad dan khilafah di Indonesia untuk menarik masyarakat pergi ke negeri konflik.
Gus Najih menambahkan bahwa destabilisasi yang terjadi di Suriah menunjukkan bagaimana radikalisasi dapat memicu konflik berkepanjangan dan mengorbankan banyak nyawa. Tatanan sosial yang sebelumnya telah terbangun dirusak oleh kelompok HTS, sehingga menciptakan ketegangan antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh kelompok HTS dan yang sejenis didasarkan pada ideologi radikalisme. Radikalisme sendiri sering muncul dari pemahaman yang sempit mengenai ajaran agama yang dianut kelompok atau bahkan orang tertentu. Hal ini tentu menodai makna jihad itu sendiri, yang sebenarnya sangat luas karena ia mencakup segala bentuk kebaikan yang dilakukan dengan kerja keras.
“Jihad tidak selalu bicara soal peperangan. Upaya untuk membangun masyarakat yang lebih baik melalui pendidikan, ekonomi, dan sosial juga dianggap sebagai bagian dari jihad yang sebenarnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mendapatkan edukasi tentang makna jihad yang sejati untuk menghindari narasi yang menyimpang,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa bentuk penyimpangan pada istilah jihad seringkali bisa ditemukan pada kepentingan politik praktis yang menggunakan istilah atau simbol keagamaan secara serampangan. Hal ini sengaja dimunculkan untuk memberikan kesan atau branding bahwa hanya kelompoknya yang paling benar atau pantas, sementara yang lainnya salah.
Lebih lanjut, dia mengatakan penyimpangan narasi yang menggunakan istilah keagamaan ini yang justru mencederai hubungan yang erat antara negara dan agama. Dia menjelaskan bahwa sebenarnya relasi antara agama dan negara itu adalah saling melengkapi.
“Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali, bahwa agama dan negara itu seperti saudara kembar. Syeikh Hasyim Asy’ari pun pernah mengatakan bahwa agama dan negara itu adalah seperti dua sisi mata uang yang keduanya saling melengkapi,” ungkapnya.
Menurut Gus Najih, sejak awal para pendiri bangsa telah mengintegrasikan nilai-nilai agama dan kebijakan negara. Hal ini tercermin ketika beliau-beliau menyusun dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang nilai-nilainya sejalan dengan ajaran-ajaran agama yang ada. Intinya, sebagaimana tercermin dalam slogan “Hubbul Wathan Minal Iman,” bahwa mencintai tanah air itu adalah bagian dari iman.
Sebagai masyarakat yang pluralistik, kewaspadaan terhadap narasi-narasi yang membenturkan agama dengan negara atau tradisi sangat diperlukan Indonesia. Pemahaman makna jihad secara komprehensif dan penerapan prinsip-prinsip toleransi serta inklusivitas adalah langkah yang penting dalam melawan radikalisme dan terorisme.
Dengan demikian, masyarakat yang lebih damai dan stabil dapat dibangun, serta munculnya kelompok-kelompok ekstremis seperti HTS dapat dicegah agar tidak membawa kerusakan lebih lanjut.
Gus Najih pun berharap agar masyarakat Indonesia mampu membangun kerukunan antar-umat beragama sebagai bentuk pertahanan nasional terhadap potensi perpecahan yang justru menguntungkan pihak tertentu. Jangan sampai konflik di Timur Tengah ikut mencederai rasa toleransi yang telah terbangun sejak lama.
“Strategi kontra radikalisasi menjadi sangat penting untuk melawan radikalisme. Program-program yang bertujuan menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan toleransi telah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai instansi dan lembaga terkait. Dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat sipil diharapkan dapat menciptakan kesadaran pada masyarakat Indonesia akan bahaya paham radikal dan mendorong dialog antaragama,” tuturnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain