Jakarta, aktual.com – Kebebasan pers merupakan bagian dari perjuangan panjang yang telah dimulai jauh sebelum era reformasi. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, mengungkapkan bahwa saat dirinya masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada era 1990-an, media mahasiswa yang ia pimpin pernah mendapatkan pelarangan terbit dari Kejaksaan Agung.
“Kebebasan pers adalah salah satu perjuangan kita sejak era sebelum era reformasi. Saat kuliah di FH Unila tahun 90-an media mahasiswa yang saya pimpin pernah dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung,” katanya, Rabu (9/4).
Ia menambahkan bahwa kondisi kebebasan pers yang ada saat ini merupakan hasil dari perjuangan reformasi yang kini bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa dalam kehidupan, tak jarang terjadi penyimpangan, termasuk dalam hal kebebasan pers. “Kebebasan pers kita saat ini adalah buah perjuangan reformasi yang sama-sama bisa kita nikmati. Namun dalam semua konteks kehidupan memang selalu ada penyimpangan dari hal-hal baik, termasuk soal kebebasan pers ini,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti laporan Majalah Tempo edisi 7 April 2025 yang dinilainya menyebarkan narasi fitnah terhadap Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, yang dikaitkan dengan praktik perjudian kasino dan daring di Kamboja.
“Narasi fitnah dibangun dengan sangat keji, meski tanpa data dan fakta apapun,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa narasi tersebut dimulai dari halaman sampul majalah yang menampilkan highlight berjudul: “Tentakel Judi Kamboja. Sejumlah Pengusaha dan Politikus mengendalikan kasino darat dan udara di Kamboja yang menyasar pemain dari Indonesia. Laporan Tempo dari kota judi Shihanoukvile dan Poipet. H.60.” Menurutnya, ini merujuk pada artikel utama yang berada di halaman 60 dan seterusnya.
Dalam artikel itu tertulis: “Banyak pengusaha Indonesia berbisnis Kasino di Kamboja. Mereka ditengarai turut meraup cuan dari judi online. Nama politikus Sufmi Dasco Ahmad ikut mencuat.” Namun, menurut Habiburokhman, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai peran Dasco—apakah sebagai pemilik, pemegang saham, atau bentuk keterlibatan lainnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun bukti pendukung seperti dokumen, foto, kesaksian, atau bentuk validasi lain yang menyatakan keterlibatan Dasco dalam praktik judi di Kamboja.
Tempo, katanya, hanya mengandalkan dua paragraf tersebut untuk membangun opini negatif terhadap Dasco, tanpa menyebutkan secara langsung keterlibatannya, sehingga berupaya menghindari jerat hukum atas tuduhan fitnah.
Bagian pertama berada di cover yang memuat tuduhan umum tentang adanya politikus yang mengendalikan kasino darat dan udara di Kamboja. Karena tidak mencantumkan nama Dasco, bagian ini tidak bisa dijadikan dasar untuk tuntutan hukum.
Sementara bagian kedua berada di halaman 61 yang menyebut nama Dasco, namun tanpa disertai tuduhan eksplisit. Kalimatnya hanya menyatakan bahwa “nama Sufmi Dasco Ahmad ikut mencuat”. Maka, menurutnya, jika hanya mengacu pada kalimat ini, Dasco pun tidak bisa melakukan tuntutan secara hukum.
“Namun kalau kita membaca konteks dua paragraf yang saling berkaitan tersebut, dapat dipahami bahwa Tempo secara kasar menuduh Dasco mengendalikan bisnis judi darat dan judi online di Kamboja,” katanya.
Ia menilai tuduhan tersebut sebagai bentuk fitnah yang sangat keji dengan menggunakan teknik insinuasi atau tuduhan terselubung.
Secara normatif, menurutnya, pers tidak diperbolehkan mencampuradukkan antara fakta dan opini serta dilarang memuat berita yang mengandung fitnah dan insinuasi. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan juga dalam Kode Etik Jurnalistik.
“Namun urusan ini sejatinya bukan sekedar urusan Dasco dan Tempo saja. Dari kasus ini kita juga bisa menilai bahwa kebebasan pers yang kita perjuangkan berpuluh tahun dengan darah dan air mata, bisa juga disalahgunakan oleh pers itu sendiri,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa siapa pun bisa menjadi korban selanjutnya. “Setiap kita bisa saja menjadi korban berikutnya, mungkin saat ini Dasco yang menjadi korban karena sepak terjangnya begitu luar biasa. Banyak sekali atensi-stensi kerakyatan yang dia kerjakan tentu membawa konsekuensi adanya pihak tertentu yang tidak senang dan mereka bisa saja menggunakan pers sebagai alat,” lanjutnya.
Meski demikian, ia tetap optimis bahwa masyarakat sudah memiliki kecerdasan untuk menilai informasi yang beredar. “Namun demikian kami yakin rakyat sudah cerdas, tidak gampang digiring dengan pembangunan opini sesat. Pada akhirnya rakyatlah yang akan menjadi hakim yang paling jujur,” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain