Jakarta, Aktual.com – Dalam menghadapi ancaman gugatan dari koalisi Masyarakat Sipil terkait Peraturan Menteri (Permen) ESDM yakni Permen No.05 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017, Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menyakini dua regulasi baru tersebut telah sesuai dengan UU.
Menurutnya produk hukum yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM telah melalui kajian yang mendalam. Maka jika gugatan itu benar benar dilayangkan ke Mahkamah Agung (MA), pihaknya merasa siap untuk menghadapi hal tersebut.
“Apapun yang kita keluarkan sudah berdasarkan review yang sangat dalam. Terkait hal ini, pemerintah juga siap untuk menjelaskan maksud PP dan Permen yang diterbitkan. Nanti kita lihat ke persidangan gimana. Yang jelas kita percaya apa yang dikeluarkan sudah sesuai dengan UU,” katanya di Jakarta, Kamis (19/1).
Sebelumnya, koalisi Masyarakat Sipil telah menghimpun kekuatan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO, Mahasiswa, akademisi, dan cendikiawan bersepakat menolak relaksasi mineral yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil, Ahmad Redi menegaskan pihaknya akan melakukan uji materil ke Mahkamah Agung atas Permen ESDM No.05 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017.
Adapun gugatan itu diladasi beberapa pertimbangan yaitu; pertama, izin ekspor mineral mentah dinilai bertentangan dengan konstitusi RI yang memandatkan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Kedua, Permen tersebut diyakini bertentangan dengan UU Minerba (Pasal 102, Pasal 103, Pasal 170), Putusan MK Nomor 10/PUU-VII/2014,
Ketiga, Izin ekspor dirasa akan memicu eksploitasi sumber daya mineral dan batubara secara besar-besaran dan tidak bertanggungjawab. Terbukti, sejak 2011 hingg 2016 terdapat penambahan izin usaha pertambangan dari 9.662 IUP hingga 10.066 IUP
“Padahal, 3.682 IUP mineral berstatus non clear and clean dan hutan konservasi, 24 persen perusahaan selama 2010-2012 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak. 75 persen-nya tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, juga perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar Rp23 Triliun,” tuturnya.
Keempat, pelonggaran ekspor mineral telah memicu eksploitasi sumber daya mineral yang berlebihan yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Degradasi fungsi lingkungan tidak hanya diwariskan oleh kegiatan pertambangan yang tidak berizin, tapi juga berasal dari kegiatan pertambangan berizin, tapi beroperasi di luar kawasaanya.
Kelima, perubahan pengusahaan Kontrak Karya menjadi IUPK menyalahi ketentuan dalam UU Minerba yang mengatur bahwa untuk menjadi IUPK maka perlu ditempuh prosedur kewilayahan usaha yang ketat, yaitu dimulai dengan adanya penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang disetujui oleh DPR RI, kemudian penetapan menjadi WUPK yang diteruskan menjadi WIUPK, setelah itu WIUPK ditawarkan kepada BUMN, dan apabila BUMN tidak berminat maka WIUPK dilelang kepada swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK.
“Selain itu, pemegang KK seperti Freeport yang mengubah bentuk pengusahaan menjadi IUPK tentu akan mendapatkan manfaat tambahan jangka waktu operasi tambang minimal 10 tahun. Padahal, pemerintah harus mulai memikirkan untuk mengembalikan wilayah operasi tambang Freeport yang akan berakhir pada 2021 kepada negara untuk selanjutnya dikelola oleh segala potensi dalam negeri,” tandasnya.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka