Jakarta, Aktual.com – Dua hari ini, tanggal 4-5 September 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri pertemuan puncak negara-negara besar yang terganung dalam G20 di Hangzhou, China.
Pertemuan puncak G20 ini masih memperjuangkan agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk mengubah tatanan dunia menjadi lebih manusiawi dan berkelanjutan. Salah satunya, terkait sistem perpajakan dunia. Untuk itu, Presiden diminta untuk sistem perpajakan dunia harus berpihak ke negara-negara seperti Indonesia.
“Pelaksanaan SDGs tidak akan berjalan maksimal jika sistem perpajakan saat ini belum berpihak ke negara-negara miskin dan berkembang,” tandas aktivis dari LSM INFID, Siti Khoirun Ni’mah, di Jakarta, Senin (5/9). INFID dan lembaga NGO lainnya membentuk Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia di tingkat global.
Siti Khoirun memberi contoh, saat ini masih berlakunya pajak korporasi di mana pajak pendapatan dan keuntungan dibayarkan di lokasi perusahaan tersebut didaftarkan. Melainkan tidak dibayarkan di negara di mana perusahaan tersebut beroperasi dan mendapatkan keuntungan.
“Selama ini, banyak perusahaan multi-nasional yang beroperasi di negara-negara berkembang yang tidak terdaftar di negara tersebut. Sehingga perusahaan itu tidak membayar pajak di negara di mana perusahaan tersebut beroperasi,” tandasnya.
Praktek inilah, kata dia, yang akhirnya menimbulkan celah derasnya aliran uang haram yang berasal dari penghindaran pajak juga aktivitas ilegal lainnya yang terjadi di negara miskin dan berkembang.
Untuk itu, sarannya, di G20 itu Presiden harus bisa menyampaikan reformasi struktural terutama dalam perjanjian perdagangan dan investasi yang mencerminkan keadilan yang juga harus menjadi prioritas Indonesia.
“Reformasi struktural terutama dalam perjanjian perdagangan dan investasi serta perpajakan harus mencerminkan keadilan, dan itu wajib menjadi prioritas Indonesia,” tandasnya.
Berdasar studi dari Global Financial Integrity disebutkan, delapan dari 19 negara anggota G20 ternyata masuk 15 besar negara dengan aliran uang haram terbesar dalam kurun waktu 2003-2014.
China, selaku pemegang kepemimpinan G20 tahun ini menempati urutan pertama, diikuti dengan Rusia, Meksiko dan India yang masing-masing berada di peringkat kedua, ketiga, dan keempat.
“Sementara Indonesia berada di peringkat ke-10. Negara seperti Indonesia mengalami kerugian sebanyak US$ 1,1 triliun akibat aliran uang haram di tahun 2013 lalu,” ungkap Siti Khoirun.
Sekain itu, kata dia, G20 telah menyepakati pelaksanaan keterbukaan informasi perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) di tahun 2017 nanti. Namun sayangnya, belum semua negara akan menjalankannya. Contohnya Panama yang terkenal dengan Panama Papers-nya itu.
“Makanya, dalam pertemuan itu, Indonesia harus mendesak pemberian sanksi baik ekonomi maupun politik bagi negara yang tidak menjalankannya, apalagi negara itu menjadikan dirinya sebagai surga pajak,” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka