Seperti yang diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berencana menghadirkan 133 saksi dalam sidang dugaan korupsi e-KTP. KPK sendiri telah memeriksa sedikitnya 294 saksi untuk menindak lanjuti kasus ini.
Bagi Noorsy, banyaknya saksi bukanlah sebuah hal yang substansial karena yang terpenting adalah bukti yang mencukupi.
“Kalau memang subyek yang dijadikan terdakwanya sedikit, sebenarnya dengan alat bukti yang ada tidak perlu menambah saksi banyak-banyak. Yang penting subyeknya sudah jelas, obyeknya juga sudah jelas, alat buktinya cukup,” jelasnya.
Terlebih, modus operandi kasus e-KTP pun tidak jauh berbeda dengan kasus korupsi yang sudah terjadi sebelumnya, seperti Hambalang misalnya, yang bermotif penggelembungan dana. Kesamaan motif tersebut, lanjut Noorsy, seharusnya membuat KPK bisa mengambil pelajaran dari penanganan kasus Hambalang untuk menangani kasus ini.
Meskipun bukan ahli hukum Noorsy cukup paham bahwa lamanya sebuah proses penanganan kasus sangatlah tergantung dari tingkat kerumitan kasus tersebut. Menurutnya, kasus e-KTP ini tidak begitu rumit karena mempunyai kesamaan dengan kasus Hambalang.
“Ketika kasusnya sama, akan diambil standarisasi waktu penyelesaian kasus, dikasih jeda waktu, dikasih toleransi waktu tambahan pada subyek yang terlibat,” jelasnya.
“Tidak perlu seperti e-KTP yang menambah banyak saksi. itu main politik namanya, main pencitraan namanya,” tegasnya.
Noorsy pun sangat khawatir jika KPK disusupi kepentingan yang menguntungkan beberapa pihak tertentu. Pasalnya, hal ini akan mengabaikan asas keadilan dan cenderung melanggengkan kekuasaan.
“Di satu sisi, dia akan memburu siapa pun demi membentuk citra dan mengamankan kepentingannya, di sisi lain dia akan jadi benteng pertahanan kekuasaan,” pungkasnya.
Laporan: Teuku Wildan
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid