Jakarta, aktual.com – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai wacana pengajuan hak angket berpotensi menimbulkan protes dari rakyat, khususnya kalangan yang pro terhadap hasil Pemilu 2024.
Dia mengatakan bahwa hasil survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (LSI) merepresentasikan 83,6 persen rakyat puas terhadap penyelenggaraan pemilu dan 76,4 persen menyatakan pemilu telah berlangsung jurdil.
“Artinya, kalangan rakyat yang dijadikan representasi hak angket hanya sebagian kecil saja. Meskipun partai-partai pengusul jumlah kursinya di DPR lebih besar,” kata Alwi dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan jika hak angket hanya akan merepresentasikan sebagian kecil rakyat yang ada pada posisi kontra hasil pemilu, maka dikhawatirkan akan timbul gelombang protes yang lebih besar dari kalangan rakyat yang pro.
“Jangan sampai rakyat dikorbankan demi hasrat elit politik yang haus kekuasaan,” katanya.
Selain itu, dia menilai hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu oleh DPR juga dinilai tidak tepat jika ditujukan hanya untuk menyelidiki dugaan kecurangan pilpres tanpa menyertakan pileg.
“Bilamana hak angket dilakukan secara parsial, pilpres saja misalnya, maka motifnya semakin patut untuk kita pertanyakan,” katanya.
Dia pun menilai bahwa pemilihan umum legislatif (pileg) memiliki potensi kecurangan yang lebih besar ketimbang pemilu pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres), sebab proses penghitungan suara pileg biasanya dilakukan pada malam hingga dini hari setelah proses penghitungan suara pilpres.
Menurutnya tahapan penghitungan suara itu telah diatur dalam Pasal 52 Ayat 2 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023 yang mengatur urutan proses penghitungan suara dilakukan secara berurutan mulai dari surat suara pilpres, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
“Pada siang hingga sore hari ketika penghitungan suara pilpres dilakukan, masih banyak masyarakat yang ikut mengawasi, menyaksikan dan mendokumentasikan selain para saksi masing-masing calon, pengawas pemilu, aparat bahkan wartawan,” kata dia.
Dia menilai pada malam hingga dini hari saat penghitungan suara pileg dilakukan, tps cenderung semakin sepi dan konsentrasi para pihak mulai menurun karena mengantuk dan kelelahan. Akibatnya hal tersebut menurutnya membuka celah yang lebih besar untuk terjadinya praktik kecurangan pemilu.
“Terlebih bila ada partai yang kekurangan saksi kemungkinan besar juga menjadi sasaran untuk dicurangi,” katanya
Salah satu bentuk kecurangan pileg yang sering terjadi menurutnya adalah pencurian atau jual beli suara, baik antar calon legislatif (caleg) maupun antar partai. Maka menurutnya tidak mengherankan bila di satu sisi ada pemberitaan mengenai caleg kehilangan perolehan suara, dan di sisi lain ada caleg lainnya yang secara mengejutkan mendapat perolehan suara yang fantastis.
“Apalagi dengan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen 4 persen, perolehan suara caleg partai kecil rawan diperjualbelikan,” katanya.
Dia pun menyarankan jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, bisa melapor ke Bawaslu, Gakumdu, DKPP, dan Mahkamah Konstitusi. Karena menurutnya dugaan kecurangan pemilu seharusnya dibawa ke ranah hukum, bukan ditarik ke ranah politik.
Jika dipaksakan untuk ditarik ke ranah politik melalui hak angket di DPR, menurutnya pelaksanaannya harus dijalankan dalam kerangka representasi rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain