Jakarta, Aktual.com – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpandangan bahwa akan lebih bijak apabila Pemerintah menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold apabila dibandingkan dengan mempersingkat durasi kampanye.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk, “Masa Kampanye 2024 Dipendekan: Siapa Untung, Siapa Rugi?” yang disiarkan di kanal YouTube Kode Inisiatif, dipantau dari Jakarta, Jumat (4/2) kemarin.
“Pilihan menghapus ambang batas pencalonan presiden lebih bijaksana untuk diambil guna meredam potensi dan residu keterbelahan di masyarakat,” ucap Titi.
“Masa kampanye ini sebenarnya hilirnya saja. Ada hulunya yang lebih strategis untuk diambil langkah-langkah terobosan oleh pembuat undang-undang dan pembuat keputusan,” tambahnya.
Apabila para pembuat keputusan mempersingkat masa kampanye, maka menuju masa kampanye pemilu, KPU dan Pemerintah harus memfasilitasi sosialisasi pemilu secara berimbang agar tidak terjadi kampanye di luar jadwal.
Secara ilmiah, tutur Titi melanjutkan, semakin pendek durasi masa kampanye, maka kecenderungan peserta pemilu dan calon legislatif untuk melakukan kampanye di luar jadwal akan semakin besar.
“Siap kah kita dan pengawas pemilu dengan risiko ini?” ucap dia.
Oleh karena itu, bagi Titi, akan lebih baik para penyelenggara pemilu untuk berkonsentrasi pada persiapan praktik pemilu yang lebih baik, lebih mudah, dan lebih sederhana untuk menghindari polarisasi disintegratif dengan cara menghapus ambang batas pencalonan presiden.
“Ruang itu (penghapusan ambang batas pencalonan presiden, red.) sebenarnya lebih logis daripada bicara hilirnya soal masa kampanye yang juga sudah ditawarkan KPU jauh lebih pendek dibandingkan Pemilu 2019 yang lalu maupun pemilu-pemilu sebelumnya,” tutur Titi.
Sebelumnya, KPU telah menawarkan durasi kampanye untuk Pemilu 2024 yakni selama 120 hari. Durasi tersebut telah jauh lebih pendek dari masa kampanye pemilihan legislatif 2009 (9 bulan), pemilihan legislatif 2014 (15 bulan), dan Pemilu Serentak 2019 (6 bulan).
Ancaman polarisasi disintegratif yang dikhawatirkan terjadi sebagai ekses dari masa kampanye menuntut tanggung jawab partai politik dan para elite untuk mencegahnya dengan cara konsisten melakukan kegiatan kampanye pemilu sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.
“Kalau kita bicara ekses black campaign, lawannya harusnya kampanye yang berupa pendidikan politik yang bertanggung jawab. Ini bisa hadir dengan komitmen dan tanggung jawab penuh dari partai politik serta para elite nya,” tutur Titi.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
A. Hilmi