Putusan majelis hakim adalah mengikat, menurut hukum. Terlebih KPK sudah mengikat Setnov sebagai tersangka. Namun demikian anehnya, maklumat tersangka yang disematkan Novanto oleh KPK tidak diikuti Sprindik (surat perintah dimulainya penyidikan) yang harus dikirim kepada tersangka.
“Pernyataan DPP Golkar terakhir, mereka menunggu Sprindik untuk mengajukan praperadilan. Ini di luar tradisi hukum acara. Sprindik pasti lebih dulu dibuat, baru maklumat. Kalau Sprindik untuk Irman dan Sugiharto disatukan, tetap saja ada Spirindik baru karena tersangkanya berbeda. Makanya saya tak percaya pernyataan Romli. Dengan kata lain, saya lebih percaya kesaktian Setnov mengalahkan kesaktian Ketua KPK Agus Rahardjo.”
Dengan lolosnya Setnov, kata dia maka tuduhan kepada Anggota Komisi II yang dalam BAP jaksa, bersih. Pertama, secara pembuktian, yang menerima langsung hanya yang disebut tiga orang tadi. Miryam menerima Rp 1,2 triliun. Lalu dibaginya kepada sejumlah orang.
“Sudah benar hakim, yang menerima adalah Miryam. Materiil. Yang dihitung materiil memang layer 1. Sedang layer 2, 3, 4, dan seterusnya adalah penadah. Kisah lain lagi. Dalam banyak kasus KPK, hakim tak sampai ke penadah. Kasus Bank Century dan Reklamasi juga begitu. Saya ragu JPU tak paham itu. Ketika Miryam mencabut BAP nya, hakim tak berdaya. Missing link ke layer 2 (penadah). Kedua, saya kira argumen Fahri Hamzah reasonable. Misalnya, Mustikoweni kata dakwaan JPU membagi-bagi duit e-KTP.”
Masalahnya, kata dia, tempus delicti atau merupakan waktu terjadinya suatu tindak pidana yang disebut JPU, yang bersangkutan telah meninggal dunia lima bulan sebelum tempus tersebut. Mustahil JPU tak tahu Mustikoweni telah meninggal, padahal posisi almarhumah berada di layer 1 BAP. Ketiga, jika JPU meragukan akurasi data, dalam faktanya JPU tidak meminta audit investigasi ulang BPK.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu