“Itu wajib. Keempat, kasus korupsi e-KTP, bukan kasus temuan rezim Agus Rahardjo. Melainkan legacy dari rezim Abraham Samad. Rezim Agus hanya melanjutkan. Tampaknya harus dilanjutkan dalam suasana faith a comply. Kelima, jika kasus tersebut dielaborasi, dari data Fahri Hamzah, mau-tak-mau Agus Rahardjo jelas terlibat selaku Ketua LKPP.”

Selanjutnya keenam, absennya Novel Baswedan telah membuat dakwaan JPU tidak akurat lagi. Novel adalah penyidik senior yang telah membuat debut sebagian besar kasus KPK sukses.

Harakiri

Yaitu. KPK sengaja hara kiri. Fenomenanya sejak awal sudah terasa. KPK ketakutan. Dia minta hak imunitas. Selanjutnya, hak supervisi dilemahkan sendiri dengan cara mengubahnya menjadi supervisi online. KPK juga menghidar dari kasus-kasus besar. KPK berganti menangkapi rasuah, kecil-kecil, Rp 100 juta, Rp 260 juta dan seterusnya.

“Padahal KPK dibatasi Pasal 11 huruf C UU No 30/2002 objek perkara di atas Rp 1 miliar. KPK mempetieskan sejumlah kasus, yang menyolok adalah kasus RS Sumber Waras dengan bukti terang benderang. Kini KPK mentok di putusan majelis hakim e-KTP. Mari kita saksikan, apakah KPK berani memakai Perma No 13 tahun 2016 tentang penanganan kejahatan korporasi. Yang dimaksud korporasi adalah badan hukum. Hanya itu satu-satunya beleid bagus untuk keluar dari blunder putusan majelis.”

Densus Tipikor

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu