Dalam bahasa diplomasi Kapolri Tito Karnavian, pembentukan Densus Tipikor adalah memperkuat hak supervisi KPK. Dia meyakini diplomasi artifisial. Melainkan, Densus Tipikor disiapkan untuk menggantikan KPK yang hara kiri.
Kata dia, hak supervisi KPK merupakan perintah dari UU No 31/1999 tentang Tipikor yang merekomendasikan pembentukan KPK untuk menggantikan Tim Gabungan Penyidikan Korupsi atau TGPK yang dijabat Jaksa Agung sebelum UU No 30/2002 tentang KPK.
“Bentuk TGPK berubah menjadi hak supervisi setelah UU KPK diberlakukan, dan TGPK dihapus. Tentu saja tak sama. Jenis UU KPK adalah “bertanggung jawab kepada UU dan melapor kepada UU”. Jadi KPK tak punya boss. Sedang UU Kepolisian No 2/2003, “bertanggung jawab kepada UU, melapor kepada Presiden”.
Doktrinnya juga beda. Doktrin UU KPK “tajam ke atas, tumpul ke bawah” di mana objeknya dibatasi Pasal 11 huruf C: minimal korupsi Rp 1 miliar, diklasifikasi extra ordinary crime. Kejahatan kerah putih atau white collar crime. Yaitu penjahat berdasi yang berada di kekuasaan. Polri adalah guardian presiden dan briefnya di bawah langsung presiden.”
Bagaimana Densus akan menggarap kerah putih di lingkungan presiden, sementara fungsinya adalah penjaga kekuasaan? lanjut dia, postulatnya Lord Acton, power tends to corrupt. Power tends to corrupt itu yang dijaga UU KPK, terutama penyelenggara negara, terutama polisi, jaksa dan hakim. Itu tugas utama UU KPK.
“Dari sejumlah indikator hara kiri, saya tak yakin KPK akan dibubarkan oleh hak angket, yang bahkan taringnya, UU No 6/1954 tentang hak angket DPR sudah dibatalkan MK. Saya justru yakin, KPK sendiri yang ingin hara kiri.”
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu