Ilustrasi Berbagai macam beras yang dijual oleh pedagang

Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengingatkan bahwa Indonesia perlu mewaspadai dampak disparitas harga beras yang terlalu tinggi.

Hal ini menyusul dengan adanya laporan dari Bank Dunia yang menyebutkan bahwa harga beras Indonesia paling mahal jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Arsjad, jika perbedaan antara harga di dalam negeri dengan luar negeri terlalu besar, ada kecenderungan beras impor lebih murah, keinginan untuk mendatangkan beras dari luar negeri akan sangat tinggi.

“Kondisi ini bisa memberikan ancaman bagi petani. Apalagi, pemerintah telah menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor beras sebanyak 200.000 ton hingga akhir 2022 untuk memenuhi stok beras nasional di gudang Bulog. Stok beras impor itu rencananya hanya akan digunakan pada kondisi tertentu seperti penanggulangan bencana, intervensi harga jika diperlukan, dan beberapa kegiatan pemerintah lainnya. Penggunaannya pun akan diawasi secara ketat untuk memastikan tidak ada yang masuk ke pasar,” ujarnya dalam siaran persnya dikutip Jumat (30/12).

Alasan Arsjad Rasjid mengingatkan dampak disparitas harga ini dipicu oleh kebijakan impor beras yang muncul ketika Bulog mencatat stok beras di gudangnya, didapati adanya penyusutan dari 1 juta ton (awal 2022) menjadi 587.000 ton pada November 2022.

Karena harus melakukan intervensi pasar selama musim paceklik 3-4 bulan ke depan dan mengantisipasi kebutuhan untuk bencana alam, Bulog harus mengisi stok beras hingga tingkat aman sekitar 1,5 juta ton.

Bulog mencoba mengadakan stok beras itu dari pasar domestik, tapi kesulitan mendapatkan walau regulasi harga patokannya sudah direlaksasi.

Oleh sebab itu opsi yang dipilih adalah impor. Inilah yang jadi sumber ketidaksepahaman antara Bulog dan Badan Pangan Nasional dengan Kementerian Pertanian.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arie Saputra