Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dilema untuk mengambil terkait kebijakan impor gas. Persoalannya bukan terletak pada volume persediaan gas dalam negeri, namun karena permasalahan harga gas dalam negeri yang dirasa mahal dan tidak ekonomis bagi industri pengguna gas.
Adapun persediaan gas dalam negeri sendiri berada dalam keadaan berlebih karena selain terdapat perubahan pada proyeksi pembangkit, beberapa lapangan juga akan mulai berproduksi.
Mengenai konsumsi pembangkit, awalnya pemerintah memproyeksi sebesar 25 persen atau sekitar 8.750 MW dari proyek 35.000 MW akan menggunakan bahan bakar gas, namun karena pertumbuhan ekonomi melambat, akhirnya target pembangunan pembangkit 35.000 MW juga mengalami pergeseran dari semula 2019 kemudian disesuaikan menjadi tahun 2025. Dengan demikian pertumbuhan konsumsi gas dalam negeri tidak seagresif dari proyeksi sebelumnya.
“Saya belum ada keyakinan kalau 2019 akan impor. Ini karena datanya perlu diperbaiki dulu,” kata Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar di Jakarta, ditulis Jumat (20/10).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengusulkan dibukanya keran impor gas. Alasannya karena harga gas untuk industri dalam negeri masih mahal, terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.
“Saya kemarin tanyakan ke Ignasius Jonan (Menteri ESDM) solusinya apa Sei Mangkei? Boleh tidak impor? Ya memang agak ironis Indonesia ada gas,” kata Darmin di Jakarta, Selasa (17/10).
Tidak hanya Menko Darim, Menko Kemaritiman Luhut Bunsar Panjaitan juga dibeberapa kali menyuarakan impor gas untuk menekan harga dalam negeri.
Namun sesungguhnya permasalahan harga gas dalam negeri yang dirasa mahal ini, selain karena penjualan gas secara berlapis melalui trader gas yang tak memiliki infrastruktur, juga faktor perbedaan penentuan harga gas dalam negeri dibanding harga gas di global market.
Harga gas di pasar spot atau global market ditentukan oleh harga crude atau minyak mentah, sedangkan harga gas dalam negeri ditentukan berdasarkan biaya produksi. Sehingga ketika harga crude mengalami penurunan dalam beberapa tahun belakangan ini, maka harga gas di pasar spot turut anjlok.
Sedangkan harga gas dalam negeri tetap tinggi sesui dengan cost prouksi. Karenanya disaat harga pasar spot lebih murah, pihak indusri dalam negeri teriak tidak mampu bersaing dengan industri luar karena biaya produksi industri dalam negeri tidak ekonomis lantaran harga gas dalam negeri lebih mahal.
Namun jauh sebelumnya ketika harga crude masih tinggi yang mempengaruhi harga gas pasar spot, industri dalam negeri menikmati skema penentuan harga gas berdasarkan biaya produksi.
Untuk diingat, terdapat kenaikan persediaan gas dengan adanya peningkatan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola ENI dari semula 450 MMSCFD, dapat ditingkatkan menjadi 600 MMSCFD. Kemudian ada juga tambahan produksi gas lainnya, berasal dari Tangguh Train 3 tahun 2020.
Belum lagi jika blok Masela mengalami produksi pada tahun 2025-2027 maka dapat dipastikan kebutuhan gas dalam negeri dapat terpenuhi.
Namun apapun itu, yang pasti PT Pertamina (Persero) telah terikat untuk impor LNG dari ExxExxonMobil melalui kontrak berjangka Panjang yang akan berlansung hingga 2045.
Kontrak impor LNG ini ditandatangani sewaktu kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Michael Richard Pence ke Indonesia.
Berdasarkan keterangan Direktur Migas Pertamina, Yenni Andayani, meskipun LNG itu ditandatangani dengan perusahaan asal AS, yakni ExxonMobil, namun tidak berarti LNG-nya dibawa dari negara AS.
(Reporter: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka