Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan didampingi jajarannya menhadiri rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/9). Raker tersebut membahas mengenai asumsi di bidang energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 dan membahas mengenai sejumlah program dari Menteri ESDM sebelumnya yakni Arcandra Tahar yang ingin Luhut lanjutkan. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah memastikan kebijakan “pukul rata” harga gas di level USD6 per MMbtu untuk sektor industri tidak jadi direalisasikan. Hal ini karena pemerintah menemukan banyak hambatan secara ekonomis, setelah Kementerian ESDM melakukan kajian secara mendalam.

Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) menjelaskan bahwa nantinya penetapan harga gas di Indonesia akan diterapkan sistem zonaisasi dan menyesuaikan jenis Industri.

“Kita lagi melihat per item industrinya. Misalnya seperti pupuk tentu beda dengan yang lain. Harga gas kita buat zonaisasi, Jadi di Indonesia Timur gasnya kita kasih untuk Indonesia Timur. Gas yang di Indonesia Tengah, kita fokus ke Indo Tengah. Supaya mengurangi transportation costnya. Yang di Indonesia bagian Barat ya gasnya di Indonesia Barat,” kata LBP di Jakarta, Selasa (11/10).

Meskipun skema itu katanya diterapkan, tidak menutup kemungkinan pemerintah akan melakukan impor gas guna melakukan stabilitas harga di zona tertentu.

“Tapi kalau lebih murah mengimpor di Indonesia bagian barat, misalnya Aceh untuk Medan ya impor saja. Nanti gasifikasinya di Lhoksemauwe, alirkan ke medan, Sehingga sampai di Medan kita hitung bisa USD7 dibanding sekarang USD13. Kalau kita bawa dari timur, costnya lagi terlalu banyak. ‎Mungkin yang dari timur kalau terlalu penuh ya kita ekspor. Itu sekarang konsepnya dan sedang dimatangkan. Saya berharap tim bisa dalam dua minggu ke depan menyelesaikan ini,” ujar Kader Senior Partai Golkar itu.

Mengenai patokan USD6 per MMbtu sebelumnya, dia mengklarifikasi bahwa pada awalnya pemerintah belum mendalami permasalahan teknis sebagai dasar perhitungan, sehingga setelah melakukan pendalaman, pemerintah menilai pola seperti itu tidak bisa diterapkan.

“Setelah didalami kita jadi makin paham. Jangan dijadikan satu semua. Jadikan per item saja, per industri. Jadi lebih detail. Sehingga dengan BKF nanti bicara tidak bisa semua. Tapi satu-satu item. Kita bisa lihat mana di hulu yang bisa kita kurangi. Karena di hilirnya itu lebih banyak nilai tambahnya,” tandasnya.

Dadangsah

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan