Jakarta, Aktual.com – Ekonom Indonesia Ichsanuddin Noorsy membandingkan ketika PTFI melepaskan sahamnya 9,39% kepada pemerintah Indonesia. Kala itu harganya hanya USD 400 juta, dan itupun dibayar melalui mekanisme pembagian deviden atau tidak tunai. Sedangkan kali ini untuk mencapai 51%, Indonesia melalui Inalum harus merogoh kocek USD 3,85 miliar yang dinilai diluar kewajaran.
Menurut Noorsy, jika berkaca pada harga divestasi sebelumnya, harusnya kendati divestasi sebesar 51%, harganya hanya di kisaran USD 2,18 miliar. Nilai ini sejatinya singkron dengan perhitungan Inalum yang mana sejak 16 bulan lalu telah menyediakan belanja modal USD 3 miliar.
“FCX (Freeport MacMoran/induk perusahaan PTFI) tetap ingin menjual dengan harga pasar USD 3,5 pada 16 bulan lalu dan saat ini MoU nya malah naik menjadi USD 3,85 miliar,” tutur Noorsy.
Pertanyaannya mengapa FCX begitu ngotot mempertahankan nilai saham USD 3,5 miliar dan kesepakatanya malah lebih mahal daripada itu? Noorsy memaparkan bahwa hal ini lantaran FCX mengantongi keyakinan bahwa konsesinya akan diperpanjang oleh pemerintah Indonesia hingga 2041.
Lalu pesan FCX itu ditangkap oleh pasar hingga harga sahamnya di lantai bursa melambung tinggi. Dengan demikian sangat jelas bahwa kerugian Indonesia membeli saham di PTFI dengan harga yang tidak wajar, tidak lain akibat pemerintah Indonesia sendiri yang memberi isyarat bahwa konsesi itu akan diperpanjang.
“Kenapa FCX yakin dengan harga itu? Karena FCX yakin konsesinya akan diperpanjang hingga ke 2041. Dengan demikian FCX sedang memberi pesan ke lantai bursa New York bahwa konsesinya akan diperpanjang. Akibat harga saham naik, dan perhitungan diskonto untuk harga saham PT FI sebesar 51% adalah USD 3,85 miliar. Siapa yang cerdas?” tukas Noorsy.
Yang pasti Noorsy mencatat bahwa FCX mendapat keuntungan besar. Setidaknya sepanjang proses negosiasi, PTFI mendapat perpanjangan IUPK berkali-kali dan ekspor tanpa harus membangun smelter. Kemudian ada jaminan perpanjangan kontrak hingga 2041 yang mengerek harga saham. Kemudian Freeport juga mendapat uang tunai tanpa kehilangan kontrol lantaran operasi masih berada pada pihak Freeport.
“Nanti setelah Inalum memegang 51%, investasi membangun smelter menjadi beban PT Inalum sebesar saham yang dimilikinya. Hal lain, Pasokan emas ke Federal Reserve tetap terjamin sehingga surat-surat utang FedRes tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Dalam bahasa yang ada kepastian pemasok dan ada jaminan pembeli. Secara politik, ini membuat posisi green back tetap terjaga,” papar dia.
Selanjutnya bagi Inalum tentu akan memperoleh deviden dan meningkatnya nilai aset. Tetapi kontrol atas biaya investasi, pasar dan penentuan harga jual tidak berada di tangan Inalum. Adapun peningkatnya nilai aset akan berbalas dengan beban utang yang ditanggung Inalum.
“Jika aset PT Inalum USD 1,623 miliar dan belanja barang modalnya USD 3,85 miliar, maka dugaan saya rasio utang terhadap ekuitas (DER) juga meningkat, tanpa harus menyertakan aset pada PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Jika mengikutsertakan tiga BUMN itu, DER PT Inalum jelas tetap rendah. Per Desember 2017 adalah 0,4 persen. Di balik rendahnya DER ini, para pihak menjadikan alasan bahwa layak melakukan transaksi dengan tunai keras, sementara PT Inalum mencari utang dari sekitar 11 bank,” ujar Noorsy.
Hal yang tak luput dari perhatian Noorsy, dia mempertanyakan mengapa Pemerintah tidak menampilkan kajian biaya manfaat politik (political cost benefit analisys), biaya manfaat sosial (social cost benefit analisys) dan biaya manfaat ekonomi (economical cost benefit analisys) dalam perbandingan antara memutuskan konsesi pada 2021 dengan berinvestasi sendiri melalui PT Inalum sebesar USD 3-3,85 miliar dibanding membeli 51% saham PT FI ?
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta