Jakarta, Aktual.com — Perubahan asumsi indikator makro ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, sudah jauh dari target.
Pasalnya, perkembangan kondisi perekonomian saat ini, berbeda jauh dari asumsi APBN 2016 lalu, yang paling nyata tentu terkait anjloknya harga minyak mentah. Untuk itu, Badan Anggaran (Banggar) DPR menuntut pemerintah agar dapat dengan cermat menyusun APBN Perubahan 2016 nanti.
“Karena itu, saya berharap, pengajuan usulan APBNP di bulan Juli nanti, pemerintah harus benar-benar siap dan cermat,” tegas Wakil Ketua Banggar DPR, Said Abdullah usai Rapat Kerja Banggar DPR dengan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/2).
Menurut Said, kebutuhan merevisi anggaran yang mendesak didasari fakta bahwa sejumlah asumsi makro yang dipatok dalam APBN tahun ini telah meleset dari perkiraan. Karena itu, dia meminta pemerintah agar cermat dalam menyampaikan RAPBN-P 2016 di bulan Juli nanti.
“Raker kali ini sebagai warning buat pemerintah. Tapi jangan terburu-buru seperti mengejar target (dalam pengajuan APBNP). Makanya, diharapkan usulan revisi APBN 2016 ini sudah masuk ke Banggar pada Juli 2016 mendatang,” papar anggota Komisi XI DPR ini.
Terkait harga minyak dunia, jelas Said, dalam beberapa bulan terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Saat ini harga minyak dunia berada di level 30 dolar AS per barell. Angka ini menjadi angka terendah dalam 10 tahun terakhir.
“Dalam UU APBN 2016, pemerintah mematok asumsi Indonesian Crude Price (ICP) di level US$50 per barrel. Saat ini harga minyak di pasar global sekitar US$30 per barrel. Sangat jauh dari asumsi awal,” tandas dia.
Dia berharap perubahan asumsi itu menjadi langkah antisipasi yang diarahkan untuk menjaga konsistensi pertumbuhan perekonomian nasional. Sebab hal ini penting, mengingat kondisi perekonomian dunia mengalami turbulensi, meski kondisi perekonomian nasional pada kuartal IV/2015 cukup kondusif di kisaran 5,04%.
“AS beserta Uni Eropa, Jepang dan Singapura merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia. Namun dengan melambatnya ekonomi di negara-negara itu, maka sangat berimbas pada perekonomian nasional. Ini mesti diantisipasi,” saran dia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia Januari 2016 mencapai US$10,50 miliar atau menurun 11,88 persen dibanding ekspor Desember 2015. Demikian juga dibanding Januari 2015 menurun 20,72 persen.
Ekspor nonmigas ke AS Januari 2016 mencapai angka terbesar yaitu US$1,23 miliar, disusul Jepang US$1,04 miliar dan Tiongkok US$0,89 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 33,64 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,16 miliar.
Ketika ditanya alasan pemerintah tunda pembahasan APBNP 2016 menunggu disahkannya RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), Said berharap agar pembahasan RUU ini cepat rampung di DPR.
Ia yakin, RUU dapat menjadi motor penggerak tambahan bagi pertumbuhan ekonomi nasional di 2016 ini. Kalau RUU ini sudah kelar, saya yakin, ekonomi kita akan melaju kencang,” harap Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan