Jakarta, Aktual.com – Harga minyak dunia mengalami penurunan pada akhir perdagangan Selasa (27/9), Penurunan harga minyak dunia ini terjadi akibat kekhawatiran resesi yang mendorong nilai tukar dollar AS melonjak.
Dilansir dari CNBC, harga minyak mentah Brent berakhir turun di bawah 85 dollar AS per barrel untuk pengiriman November, atau jatuh 2,1 persen, tepatnya pada level 84,32 dollar AS per barrel. Sementara itu, West Texas Intermediate berjangka turun 2,3 persen ditutup pada level 76,97 dollar AS per barrel.
Nilai tukar dollar AS melonjak ke level tertinggi sejak tahun 2002. Sementara itu poundsterling jatuh ke level terendah. Penurunan harga minyak mentah dunia baik Brent maupun WTI sudah terjadi sejak pekan lalu, dengan penurunan sekitar 5 persen
“Penurunan harga minyak terjadi karena nilai tukar dollar AS yang lebih kuat. Ini memicu kekhawatiran resesi,” kata Amrita Sen, salah satu pendiri dan direktur penelitian di Energy Aspects.
Lonjakan dollar AS terhadap mata uang lain ini juga bisa diartikan, aset dollar AS seperti minyak mentah akan sangat mahal bagi investor yang memiliki mata uang selain dollar AS.
“Kenaikan nilai tukar dollar AS, membebani harga berjangka,” kata John Morley, direktur editorial asosiasi untuk minyak mentah dan bahan bakar EMEA di S&P Global.
Kenaikan nilai tukar dollar AS terjadi ketika bank sentral di seluruh dunia termasuk The Fed dan BoE terus manikkan suku bunga dalam upaya menekan laju inflasi. Kebijakan ini mendorong sentimen pasar yang terus memburuk.
“Kebijakan suku bunga, memberi tekanan tak henti-hentinya pada komoditas, termasuk minyak mentah, berlanjut setelah sesi suram Jumat yang melihat penguatan dollar AS yang dipercepat dan pesimisme pertumbuhan menyebabkan gejolak di pasar,” kata Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo.
“WTI diperdagangkan di bawah 80 dollar AS per barel, sementara Brent berada di harga 80-an dollar AS per barrel, kita akan segera melihat upaya OPEC+ dalam mendukung harga minyak,” katanya.
Sementara itu, Rusia memperingatkan tidak akan memasok komoditas ke negara-negara yang setuju untuk melakukan membatasi harga minyak mentahnya.
“Sektor energi bisa menjadi yang pertama bangkit, jika mendapat dukungan dari nilai tukar dollar AS yang stabil,” lanjut Hansen.
Kekhawatiran seputar perlambatan ekonomi terus meningkat. Steve Hanke, profesor ekonomi terapan di Universitas Johns Hopkins, memprediksi adanya potensi bahwa AS akan jatuh ke dalam resesi sebesar 80 persen.
“Jika The Fed melanjutkan pengetatan kuantitatif dan memindahkan tingkat pertumbuhan dan M2 (penawaran uang) ke wilayah negatif, itu akan memberi dampak yang lebih parah,” kata Hanke.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra