Ilustrasi- Kilang Minyak
Ilustrasi- Kilang Minyak

Jakarta, Aktual.com – Harga minyak tergelincir pada akhir perdagangan Selasa waktu setempat (Rabu pagi WIB), karena para investor mengunci keuntungan setelah naik selama lima sesi berturut-turut dan Brent mencapai 80 dolar AS per barel untuk pertama kalinya dalam hampir tiga tahun.

Minyak mentah berjanga Brent untuk pengiriman November melemah 44 sen atau 0,6 persen, menjadi menetap di 79,09 dolar AS per barel, setelah mencapai level tertinggi sejak Oktober 2018 di 80,75 dolar AS per barel.

Minyak mentah berjanga West Texas Intermediate (WTI) AS merosot 16 sen atau 0,2 persen, menjadi ditutup di 75,29 dolar AS per barel, setelah mencapai tingkat tertinggi sesi di 76,67 dolar AS, tertinggi sejak Juli. 

Penurunan harga minyak juga terjadi di tengah dolar AS yang lebih kuat. Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, naik 0,41 persen menjadi 93,7686 pada akhir perdagangan Selasa (28/9/2021). Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.

Harga acuan minyak telah melonjak belakangan ini, karena permintaan bahan bakar meningkat dan para pedagang memperkirakan negara-negara penghasil minyak utama akan memutuskan untuk menjaga pasokan tetap ketat ketika Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) bertemu minggu depan.

“Anda mungkin memiliki cukup banyak profit taking, karena kami mengalami kenaikan harga yang cukup luar biasa,” kata Andrew Lipow, presiden konsultan Lipow Oil Associates yang berbasis di Houston. “Kami mungkin memiliki sedikit jeda di sini karena pasar mengevaluasi seperti apa dinamika penawaran dan permintaan.”

Pasar juga menghadapi tantangan dari krisis listrik di China, konsumen energi terbesar di dunia.

“Penjatahan listrik baru-baru ini ke industri di China untuk menurunkan emisi dapat membebani kegiatan ekonomi, berpotensi mengimbangi dorongan dari penggunaan diesel tambahan dalam pembangkit listrik,” kata bank investasi Barclays. 

Beberapa investor khawatir bahwa penularan dari gelembung perumahan di China dapat memukul ekonomi negara itu dan pada gilirannya mengurangi permintaan minyak, kata Louise Dickson, analis pasar minyak senior di Rystad Energy. China adalah importir minyak utama dunia.

Permintaan minyak akan tumbuh tajam dalam beberapa tahun ke depan karena ekonomi pulih dari pandemi, OPEC memperkirakan pada Selasa (28/9/2021), menambahkan bahwa dunia perlu terus berinvestasi dalam produksi untuk mencegah krisis bahkan ketika mereka melakukan transisi ke bentuk energi yang lebih bersih.

Beberapa anggota kelompok produsen OPEC+, yang mencakup sekutu OPEC Rusia dan beberapa negara lain, memangkas produksi selama pandemi, dan mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan yang pulih.

Pengekspor minyak utama Afrika, Nigeria dan Angola akan berjuang sampai setidaknya tahun depan untuk meningkatkan produksi ke kuota yang ditetapkan oleh OPEC, sumber di masing-masing perusahaan minyak mengatakan, mengutip masalah kurangnya investasi dan pemeliharaan.

Produksi AS telah terganggu oleh Badai Ida dan Nicholas, yang melanda Teluk Meksiko AS pada Agustus dan September, merusak anjungan, jaringan pipa, dan pusat pemrosesan.

Pedagang kini menunggu data stok minyak mentah AS, karena Badan Informasi Energi AS akan merilis laporan status minyak mingguannya pada Rabu waktu setempat. Analis yang disurvei oleh S&P Global Platts memperkirakan persediaan minyak mentah AS menunjukkan penurunan 4,5 juta barel untuk pekan yang berakhir 24 September.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid