Jakarta, Aktual.com — Harga minyak mentah dunia terus melorot dan diperkirakan menembus level paling rendah USD20 per barel. Kondisi ini akan menperburuk perekonomian Indonesia, mulai dari penurunan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas (migas), hingga bertambahnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, kondisi Indonesia di tengah tekanan harga minyak dunia akan memicu rasa egoisme masing-masing.
“Pasti pada mikirin diri masing-masing, seperti PT Pertamina (Persero) pasti akan mikir bagaimana dia bertahan,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Minggu (24/1).
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa produksi Pertamina sebesar 18 persen dari total produksi nasional, dan memiliki aset sekitar USD50 miliar, serta ribuan karyawan, jika harga minyak anjlok ke level USD20 per barel, maka sumbangan keuntungan dari hulu bisa akan berkurang.
“Bagaimana korporasi sebesar ini bisa berdiri jika hulunya ambruk, makanya harus ditolong di sektor hilir dengan penjualan BBM di atas harga wajar, dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat,” jelasnya.
Selain itu, jatuhnya harga minyak dunia juga berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta PHK. Hal ini menyangkut ratusan perusahaan migas di Indonesia berniat memutus kontraknya, seperti Chevron memproduksi migas 48 persen dari total minyak nasional akan mengakhiri kontraknya.
“Tidak sanggup lagi beroperasi, jadi konsekuensinya ke pemerintah (APBN), karena dapat penerimaan dari bagi hasil minyak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika perusahaan asing tutup, darimana menutup defisit APBN yang besar. APBN kita bergantung pada industri migas, belum lagi angka pengangguran akan membludak,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan