Pekerja membersihkan bawang merah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (18/5). Pemerintah memastikan ketersediaan komoditas pangan seperti bawang merah, beras, dan cabai cukup untuk memenuhi kebutuhan sebelum dan setelah Ramadan, antara lain dengan cara memastikan keberadaan stok bawang merah di empat pasar induk senilai 300 ton per hari dan tambahan 8000 ton bawang merah dalam dua minggu ke depan. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/kye/16.

Jakarta, Aktual.com – Harga-harga pangan saat masuk Ramadan dan Lebaran selalu melonjak tinggi. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat akan berdampak pada meningkatnya laju inflasi.

Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya yang juga melewati bulan Ramdan dan Hari Raya, ternyata Indonesia masuk yang paling tinggi. Untuk inflasi umum yang tertinggi dan inflasi pangan tertinggi kedua setelah Turki.

“Saat Juli 2015, momen saat Ramadan dan Lebaran inflasi umum kita tertinggi dibanding negara lain. Kita jauh kalah dari Malaysia, Pakistan atau Arab Saudi, dan beda sedikit dengan Turki,” jelas Direktur Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal, saat diskusi soal inflasi Ramadan, di kantornya, Jakarta, Selasa (14/6).

Saat Juli 2015, inflasi Indonesia mencapai untuk year on year sebesar 7,3%, sedang Turki 6,8%, Malaysia 3,3%, Arab Saudi 2,2%, dan Pakistan 1,8%.

Sedang untuk inflasi pangan (yoy), pada Juli 2015, maka inflasi Indonesia menjadi yang tertinggi kedua, meski angka inflasinya meningkat menjadi 8,7%. Lebih kecil memang dibanding Turki yang mencapai 9,3%.

“Angka itu lebih besar dari negara Malaysia untuk inflasi pangan sebesar 3,8%, Arab Saudi sama, dan Pakistan malah minus 0,3%. Malaysia bisa begitu karena ada UU khusus untuk stabilkan harga pangan,” jelas Faisal.

Untuk tahun ini, Core Indonesia melihat, harga pangan akan terus merangkak tinggi hingga lebaran nanti. Sehingga secara otomatis akan berdampak pada laju inflasi yang juga tinggi.

“Kami proyeksikan harga pangan akan terus meningkat hingga lebaran. Inflasi bahan pangan pada bulan Juni dan Juli nanti diperkirakan di atas 1%,” kata Faisal.

Untuk itu, Faisal menegaskan, kondisi ini akan terus ternadi jika pemerintah tak punya solusi hang tepat. Antara lain, selama ini di tingkat pemerintah masih terjadi ketidakcukupan dan ketidaksesuaian data antar kementerian/lembaga (K/L).

“Hal ini menjadi penting, karena selama ini data pangan antara BPS, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian masih berbeda. Bahkan perbedaannya itu tajam. Sehingga berdampak kepada kebijakan yang dikeluarkannya pun tak tepat,” papar Faisal.

Dengan kondisi itu, kata dia, membuat langkah-langkah stabilisasi harga kurang efektif.

“Itu jadi masalah penting. Karena selain masalah supply dan demand yang tidak mencukupi, semakin parah jika kebijakannya itu tak sesuai. Akhirnya masyarakat hanya akan menderita dengan harga pangan yang tinggi,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan