Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla diminta harus terus mengendalikan harga pangan yang akhir-akhir ini terus melonjak. Jika tak bisa dikendalikan, maka potensi kemiskinan bisa lebih tinggi.
Pasalnya, selama ini pendapatan masyarakat yang berada di garis kemiskinan lebih banyak dihabiskan untuk membeli barang-barang pangan.
“Kemiskinan itu identik dengan masyarakat pedesaan dan pemukiman padat. Dan sebagian pendapatan para penduduk yang berada di dekat garis kemiskinan itu justru digunakan untuk membeli pangan. Ini yang jadi beban berat,” tandas pengamat ekonomi dari Institute of Development for Economic and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, di Jakarta, Rabu (16/11).
Sejauh ini, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan sebanyak 10,5% dari jumlah penduduk atau 28,5 juta jiwa. Jika pemerintah tak mau kemiskinan akan melonjak, maka harga-harga pangan harus bisa dikendalikan.
“Karena selama ini, kita tahu harga pangan itu terbilang cukup tinggi laju inflasinya. Sehingga pada akhirnya, berdampak pada daya beli mereka yang merosot,” jelas Heri.
Untuk itu, dia berharap pemerintah bisa kreatif untuk menekan laju kemiskinan. Salah satu caranya dengan mereduksi kemiskinan melalui kebijakan penstabilan harga pangan.
“Selain itu perlu juga ditambah dengan meningkatkan program-program prioritas untuk meningkatkan produktivitas masyarakat yang berada pada kantung-kantung kemiskinan,” terang Heri.
Menurutnya, selama ini konsep-konsep yang diagungkan pemerintah seperti menggenjot aspek daya saing, kemandirian ekonomi, dan mebangun dari pinggiran untuk mengurangi angka kemiskinan tak pernah terjadi.
Sehingga sekalipun pemerintah menelurkan paket kebijakan ekonomi secara masif, sampai saat ini sudah ke-14, tetap tak menjadi solusi. Karena implementasinya rendah.
Dari indikator-indikator yang ada belum membuktikan tercapainya kondisi kemandirian ekonomi dan membangun dari pinggiran seperti kendati pemerintah sudah nerjalan dua tahun.
“Seperti pertumbuhan ekonomi daerah merosot, pembangunan antar wilayah masih timpang, penurunan kesenjangan dan kemiskinan masih semu, kesempatan kerja semakin kecil, serta petani jauh dari kata sejahtera,” jelas dia.
Melihat kinerja petani, kata Heri, nilai tukar petani (NTP) selama dua tahun pemerintahan Jokowi-JK stagnan. “Per September 2016, NTP gabungan berada di posisi 102,02, jadi bukti bahwa daya beli petani masih lesu,” tandasnya
(Laporan: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka