Jakarta (ANTARA) – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan sejumlah provinsi yang menjadi sentra sawit, sebagaimana data Badan Pusat Statistik, memiliki Nilai Tukar Petani (NTP) yang tinggi.
Menurut Ketua Umum DPP Apksindo Gulat ME Manurung, peningkatan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit mendongkrak pendapatan dan kesejahteraan petani.
“Seperti petani Riau paling sejahtera di Indonesia pada Oktober 2021. Ini tercermin dari nilai tukar petani (NTP) di provinsi Riau yang paling tinggi secara nasional pada bulan lalu,” ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (7/11).
Di Riau, tambahnya, NTP Oktober 2021 adalah 144,90, ada kenaikan sebesar 2,53 persen dibanding NTP September 2021 yang hanya 141,32.
Gulat menambahkan provinsi kedua tertinggi adalah Bengkulu dengan NTP sebesar 140,04 pada Oktober 2021, kemudian Kalimantan Barat dengan NTP sebesar 137,63.
Setelah itu, Jambi dan Bangka Belitung masing-masing punya NTP sebesar 131,51 dan 137,63. Kemudian, NTP Sulawesi Barat sebesar 127,86.
NTP Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur berturut-turut sebesar 125,11 dan 124,35. Sumatera Utara memiliki NTP sebesar 123,21. Sementara, Sumatera Selatan memiliki NTP sebesar 111,96.
“Apakah kita tidak sadar ini? Di saat bersamaan negara lain cemburu dengan kondisi ekonomi Indonesia yang baik-baik saja saat pandemi terjadi,” ujar Gulat.
Ia mengatakan dampak kelapa sawit bukan saja yang memiliki kebun melainkan terhadap dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi terhadap bangsa ini dan dunia sangat berkelanjutan dan memenuhi 17 SDGs.
Pembelajaran sejak dini tentang komoditas strategis ini perlu dimasukkan ke kurikulum nasional yang diperkuat dengan UU Perlindungan Komoditas Strategis.
Secara terpisah, Firman Subagyo, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, mengatakan hingga saat ini masih ada kekosongan hukum yang bisa memproteksi komoditi-komoditi strategis perkebunan.
Selanjutnya Firman menguraikan indikator komoditas perkebunan yang akan diatur dan diproteksi oleh UU ini antara lain, komoditas tersebut berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Selain itu, komoditas tersebut harus menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Indikator lainnya yakni komoditas tersebut berdampak pada kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia.
Selama ini, negara-negara maju lainnya sudah jauh sebelumnya memproteksi komoditas strategis mereka dengan UU, seperti Amerika Serikat (AS) sudah mempunyai UU yang melindungi komoditas kedelai, jagung, kapas dan gandum.
Sementara itu Malaysia mempunyai UU perkelapasawitan, dan Jepang mempunyai UU perberasan, lanjutnya, namun ironis bagi Indonesia, komoditi-komoditi strategisnya sama sekali dilepas begitu saja tanpa ada perlindungan.
“Karena komoditas-komoditas itu dianggap sebagai strategis dan menghasilkan devisa bagi AS,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arie Saputra