Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mengatakan, jika mengacu pada harga minyak dunia yang terus anjlok, sudah seharusnya harga BBM baik premium maupun solar dijual jauh murah lagi dari harga sekarang. Jangan sampai harga solar industri lebih murah daripada harga solar bersubsidi di SPBU.
“Pertamina keterlaluan jika menjual solar subsidi di SPBU lebih mahal dari harga Industri, jika mengacu harga minyak dunia sekarang ya memang harga jual solar harus lebih murah lagi,” kata Ferdinand kepada wartawan, Rabu (20/1).
Dengan adanya aturan peninjauan harga BBM per 3 bulan sekali oleh pemerintah, maka kasihan masyarakat harus menunggu hingga Maret untuk evaluasi harga baru.
Seperti diberitakan sebelumnya, harga minyak dunia yang terus merosot di bawah USD30 per barel akhir-akhir ini, sudah semestinya berimbas pada menurunnya harga jual bensin maupun solar. Bahkan harga Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar saat ini sudah menyentuh harga USD40 per barel, yang artinya jika dirupiah dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500/liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak).
Jika dihitung ongkos kirim katakanlah USD3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10% (Rp380/liter) ditambah PBBKB 5% (Rp190/liter) maka semestinya harga solar non subsidi di Indonesia berkisar di harga Rp4.370-Rp4.500 per liter. Tapi kenyataannya harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (Harga keekonomian: Rp6.750 per liter) ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi). Keuntungan yang sangat besar tentunya yang diraih oleh Pertamina dari masyarakat. Maka sangat tidak menutup kemungkinan ada pihak yang berani menjual harga solar non subsidi di bawah harga solar subsidi.
Sumber terpercaya wartawan saat diwawancarai mengatakan, sudah sering terjadi praktik jual beli solar dimana harga solar non subsidi (untuk Industri) lebih murah daripada harga Solar subsidi yang dijual di SPBU. Hal ini karena pergerakan harga minyak yang cepat berubah setiap hari, sedangkan pemerintah mengevaluasi harga jual BBM setiap 3 bulan.
“Harga di SPBU hanya dijadikan patokan saja, di balik itu ada negosiasi harga sehingga industri bisa mendapatkan harga solar lebih murah dari harga SPBU,” kata sumber menjelaskan, Rabu (20/1).
Tentu hal ini menjadi miris bagi publik, dimana seharusnya BBM jenis Solar yang dijual di SPBU oleh pertamina yang hingga saat ini masih disubsidi justru lebih mahal dibandingkan harga jual yang diperuntukkan kepada industri.
Seperti yang pernah terjadi pada bulan Agustus 2015 lalu yang saat itu harga solar subsidi di SPBU dijual dengan harga Rp6.900 per liter, PT AKR Corporindo Tbk, justru menjual solar industri di level Rp 6.400 per liter, lebih murah Rp 500 per liter.
Sekretaris Perusahaan AKR Corporindo, Suresh Vembu seperti dikutip mengatakan, lebih murahnya harga jual solar AKR ketimbang solar subsidi di SPBU tak lepas dari turunnya harga minyak (gasoil) Singapura yang selama ini menjadi acuan pembentukan harga solar perseroan.
Tidak transparannya Pertamina selama ini dalam melakukan jual beli BBM memang mengundang kecurigaan publik. Bahkan disinyalir, harga solar subsidi yang selama ini terpampang di SPBU hanya dibuat untuk patokan marker. Selanjutnya praktek jual beli solar harganya tergantung negosiasi.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan