Ilustrtasi grafik

Jakarta, Aktual.com – Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan pada akhir perdagangan Selasa (25/10) pagi WIB. Pergerakan harga minyak dunia dipengaruhi oleh rendahnya permintaan China, nilai tukar dollar AS, hingga potensi kenaikan suku bunga yang agresif.

Dikutip CNBC, harga minyak berjangka Brent untuk kontrak Desember turun 0,03 persen menjadi 93,47 dollar AS per barrel. Pun demikian, dengan harga minyak mentah West Texas Intermediate yang juga turun 0,24 persen menjadi 84,85 dollar AS per barrel.

Permintaan China untuk bulan September masih lesu. Meskipun lebih tinggi dari pada bulan Agustus, impor minyak mentah China bulan September sebesar 9,79 juta barrel per hari turun 2 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

“Pemulihan baru-baru ini dalam impor minyak tersendat pada bulan September. Ini menunjukkan, perusahan penyulingan gagal memanfaatkan peningkatan kuota karena penguncian Covid-19 yang sedang berlangsung membebani permintaan,” kata analis ANZ dalam sebuah catatan,

Ketidakpastian atas kebijakan Zero Covid di China dan krisis properti menjadi kendala pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Analis ING mengatakan, pertumbuhan produk domestik bruto kuartal ketiga mengalahkan ekspektasi analis.

Sementara itu, penguatan nilai tukar dollar AS juga menimbulkan masalah bagi harga minyak. Nilai tukar dollar AS yang lebih kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli yang tidak menggunakan mata uang tersebut.

“Penguatan dollar AS yang terus berlanjut membebani nilai WTI dengan uji penurunan yang kami harapkan di harga 79,50 dollar AS per barrel, kemungkinan pada akhir pekan ini,” kata Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates.

Sementara itu, aktivitas bisnis di AS yang mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut juga membebani harga minyak pada Oktober. Perusahaan-perusahaan jasa juga melaporkan tingkat pembelian yang lebih lemah.

Di sisi lain, sinyal positif muncul dari laporan S&P Global yang menyatakan bahwa Indeks Output PMI Komposit AS (yang melacak sektor manufaktur dan jasa) turun menjadi 47,3 bulan ini dibanding bulan September, sebesar 49,5.

Adapun analis di grup Price Futures Phil Flynn mengatakan bahwa  pelemahan itu dapat menunjukkan kebijakan kenaikan suku bunga Federal Reserve AS untuk melawan inflasi telah berhasil. Hal ini diharapkan dapat memperlambat kebijakan kenaikan suku bunga selanjutnya, dan merupakan sinyal positif untuk permintaan bahan bakar.

“Kehilangan angka PMI adalah tanda bahwa ekonomi mungkin sedikit melambat, yang ternyata menjadi bullish,” kata Flynn.

Harga minyak Brent naik pekan lalu meskipun Presiden AS Joe Biden mengumumkan akan melepas 15 juta barrel minyak dari cadangan minyak strategis, yang merupakan bagian dari rekor pelepasan 180 juta barrel yang dimulai pada Mei lalu.

Biden mengatakan, tujuannya adalah untuk mengisi kembali stok ketika minyak mentah AS berada di sekitar 70 dollar AS per barrel. Tapi Goldman Sachs mengatakan pelepasan stok minyak dari cadangan strategis tidak mungkin berdampak besar pada harga.

“Pelepasan cadangan minyak itu, kemungkinan hanya memiliki pengaruh kecil pada harga minyak,” kata Goldman Sachs.

Artikel ini ditulis oleh:

Arie Saputra