Jakarta, Aktual.com — Legenda hidup pergerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia pada peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) 1974, Hariman Siregar, mendapatkan panggungnya di teater kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (15/1) malam.
Panggung yang kerap terbersit dalam jiwanya, ditunggu-tunggu. Nada bicaranya masih lantang, mengingatkan sejarahnya melawan rezim Soeharto. Mengenakan kemeja merah hati, malam itu, pria kelahiran Sumatera Utara 1 Mei 1950 menyentil semua pihak yang dinilainya ‘salah’.
Tidak melulu garang, sesekali kritik kerasnya dibungkus dalam kemasan humanis. Hingga tidak muncul kesan menyakiti, meski menusuk qalbu pihak yang dikritik. Peringatan Peristiwa Malari ke-42 digelar dengan 16 Tahun Indonesia Democracy Monitor (Indemo).
“Tiga Menko itu teman kita semua, mati kita… Ada Luhut, ada Rizal kepret, ada Darmin. Belum lagi, Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Susi, banyaklah,” kata Hariman menyinggung rekan-rekannya di Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo.
“Kalau kita mau maki, mau maki siapa? Ya kan. Karena itu musti ada peluncuran buku, baru kita kritik-kritik kecil. Kita berkumpul sebenarnya untuk mengingatkan kembali tuntutan yang selalu saya dan teman-teman sampaikan, meminta tuntutan mengenai keadilan,” tambahnya.
Peluncuran buku merujuk Teguh Esha dengan karyanya ‘Buku Puisi-Puisi INDOSARA’. Teguh merupakan penulis ‘Ali Topan Anak Jalanan’, buku yang disebut turut merefleksikan gerakan dan gejolak anak muda tahun 1970-an.
Soal kritik ke pemerintah ke Joko Widodo, Hariman mengingatkan bahwa spirit yang melatari peristiwa Malari 1974 tidak berbeda jauh dengan pemerintahan Joko Widodo saat ini. Gerakan atas ketidakpuasan pemuda dan mahasiswa atas kebijakan pemerintah terkait kerjasama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional.
“Kalau misalnya sekarang Pak Jokowi mau investasi, panggil Cina, Jepang, segala macam. Join kesini pasti bukan sama kita, kita PT saja enggak ada. Pasti join sama yang kaya lagi, ini persis kayak tahun 74 dulu,” tuturnya.
Saat itu, mahasiswa mengkritik rezim Soeharto karena kebijakannya berpihak pada kaum berpunya. Padahal, semestinya kondisi perekonomian dibagi rata agar jurang kesenjangan tidak semakin melebar. Ekonomi berkeadilan berdasar Pancasila ditekankan mahasiswa dan pemuda.
Setelah protes demi protes dilayangkan, Presiden Suharto mengakomodir beberapa diantaranya. Salah satunya pemberian kredit kepada rakyat miskin tanpa jaminan. Rakyat yang tidak terbiasa dengan administrasi jaminan ke bank bisa sedikit bernafas lega.
“Keadaan sekarang juga begitu, kita mengharapkan ada transformasi dibidang itu. Terus kita lihat harus ada industrialisasi yang memadai, karena enggak mungkin tenaga kerja ditampung di pedesaan saja. Enggak mungkin kita bisa lawan kemiskinan kalau tidak ada industrialisasi,” imbuh Hariman.
Industrialisasi di berbagai daerah bisa membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat. Industrialisasi kata dia juga bisa membebaskan bangsa Indonesia dari ketergantungan barang-barang impor.
“Kita takut dengan hutang kita yang besar. Dilema-dilema ini yang kita hadapi sekarang. Enggak ada uang, investasi, bangun infrastruktur, musti pinjem, kalau mau dikasih pinjem yang mau minjemin syaratnya tenaga kerjanya mau dibawa kesini, 10 juta orang lagi, gila kan,” ucapnya.
Lalu, pada gilirannya rakyat yang berdaulat dipaksa menjadi penonton di negerinya sendiri. Sebab berbagai kegiatan infrastruktur dilakukan warga negara lain. Begitu selesai, rakyat tetap diwajibkan membayar pajak ini-itu, hasil karya warga negara lain.
“Kita belum terintegrasi sebagai satu ekonomi nasional. Ekonomi domestik kita belum menyatu, padahal kalau ekonomi kita sudah menyatu akan terjadi perdagangan antar kita. 250 juta orang ini sebenarnya kita mampu,” katanya mengutip mentor politik sekaligus mertuanya, Prof Dr Sarbini Soemawinata.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan