Jakarta, Aktual.com – Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menyebut, selama ini utang yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk keputusan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama generasi muda.
“Sehingga utang ini untuk memperbaiki produktivitas dan daya saing Indonesia, sehingga negara mampu mewariskan aset-aset produktif, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa,” klaim dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (6/9).
Pernyataan ini untuk menanggapi tulisan Edy Mulyadi dengan judul ‘Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp 3.780 Triliun.’ Pihak pemerintah pun merah kupingnya dengan tulisan tersebut.
Dia menegaskan, dalam melakukan analisis tentang kemampuan pembayaran utang, sebaiknya juga tidak dilihat hanya dari sumber daya alam (SDA). Bila mengikuti logika itu, bagaimana dengan banyak negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam namun tetap mampu maju dan sejahtera dan tetap mampu membayar utangnya.
“Sumber daya alam yang dikuasai Pemerintah menghasilkan penerimaan negara (pajak dan bukan pajak seperti royalti). Penerimaan ini merupakan sebagian saja dari total penerimaan negara keseluruhan. Jadi membandingkan utang dengan penerimaan sumber daya alam saja adalah salah,” jelas dia.
Pernyataan sang penulis, kata dia, tentang menjadikan BMN sebagai agunan utang yang sewaktu-waktu dapat disita jika Pemerintah mengalami gagal bayar, juga adalah salah besar. Hak pemanfaatan BMN itu dijadikan dasar transaksi/underlying oleh Pemerintah dalam rangka menerbitkan Sukuk (Surat Berharga Syariah Negara).
“Jadi bukan BMN-yang menjadi dasar jaminan pinjaman penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk). Hal inipun sudah dibahas mendetail dalam rapat dengan DPR dan ditetapkan prinsip Syariah melalui Dewan syariah dibawah MUI,” klaim dia.
Selama ini dia berdalih, utang pemerintah dikelola secara prudent untuk kesinambungan fiskal. Rasio pembayaran bunga utang terhadap total Pendapatan dan Hibah Indonesia pada tahun 2015 berada pada tingkat 9.9%, relatif lebih baik dibandingkan negara peers seperti Maroko (10.4%), Meksiko (11.4%), Filipina (13.8%), Mesir (23.9%), dan Brazil (34.0%).
Sementara dari sisi rasio terhadap belanja, pada periode yang sama, rasio beban utang Indonesia (8.3%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara peers seperti Maroko (9.0%), Meksiko (9.7%), Malaysia (11.3%), Filipina (16.7%), Mesir (24.3%), dan Brazil (33.2%).
Adapun dari sisi rasio beban bunga terhadap total utang outstanding, pada tahun 2015, capaian Indonesia (4.7%) tercatat lebih baik daripada Filipina (5.5%), Turki (6.6%), Meksiko (6.7%), Mesir (8.8%), dan Brazil (18.0%), namun sedikit lebih tinggi dibanding Maroko, Thailand, dan Malaysia.
“Mudah-mudahan penulis menjadi paham, sekaligus juga bisa belajar sedikit mengenai keuangan publik dan membaca neraca keuangan,” katanya.
(Reporter: Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka