Masih tekor
Numpang tanya bu Menteri, harta kita yang mana yang sampeyan maksud? Yang nilainya Rp2.188 triliun itu? Lha, kalau begitu kita masih tekor, dong. Matematika sederhana menemukan, kalau berutang Rp3.780 triliun dengan mengandalkan harta yang cuma Rp2.188 triliun, artinya masih kurang Rp1.592 triliun. Mosok doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi luar negeri seperti anda tidak paham hitung-hitungan amat sederhana ini?
Lagi pula, apa Ani, begitu Menkeu biasa disapa, benar-benar yakin bakal menjadikan BMN sebagai agunan berutang? Terus, bagaimana jika ratusan ribu aset negara tadi disita karena kita tidak becus membayar bunga, cicilan, dan pokok utang yang terus menjulang? Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp387 triliun.
Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun depan makin mengerikan saja. Bayangkan, di APBN 2018 dialokasikan Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah tiu diluar Rp247,6 triliun untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!
Bisakah bu Menteri membayangkan, bagaimana nasib birokrasi kita saat gedung-gedung tempat mereka bekerja tiba-tiba menjadi milik para kreditor? Haruskah mereka keluar dari gedung-gedung itu? Lalu, dimana mereka harus bekerja? Di pematang sawah dan di pinggir jalan yang juga sudah menjadi milik kreditor? Atau, mereka tetap bekerja di gedung yang sama tapi tiap bulan harus membayar sewa, membayar service fee, dan berbagai biaya lain?
Jangan lupa, Ditjen Kekayaan Negara menyebut, berbagai aset itu juga meliputi satusan ribu ruas jalan, saluran irigasi dan jaringan. Lalu, ketika semua itu pada akhirnya menjadi milik kreditor, bagaimana nasib para petani kita? Apakah mereka harus membayar tiap liter air yang mengairi sawah mereka hanya karena air itu melewati saluran irigasi milik kreditor? Lalu, haruskah rakyat membayar biaya untuk tiap ruas jalan yang mereka lalu, walau jalan itu adalah bukan tol? Na’udzu billahi mindzalik (kami berlindung kepada Allah dari hal demikian)!
Artikel ini ditulis oleh:
Eka