Jakarta, Aktual.com — Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putra keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang Ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan.

Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan lulus pada tahun 1937 silam.

Karena desakan orang tua, ia pergi merantau belajar studi ke Arab Saudi. Di negeri gurun pasir ini ia tidak bisa tahan lama dan menutut orang tuanya agar bisa pindah studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil ini ia mulai mendalami Islam di fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun merasa tidak puas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di Universitas ini ia tidak mendalami Islam, tetapi ilmu pendidikan dan ilmu sosial.

Selang beberapa tahun ia sempat bekerja di perusahaan swasta dan kemudian pindah ke Konsulat Indonesia di Kairo setamat dari Universitas tersebut dengan mengantongi ijazah B.A dalam kariernya. Dari Konsulat itulah, putra Batak yang mempersunting seorang putri dari negeri Mesir ini mulai berkarir diplomatiknya.

Pada tahun 1953 Harun Nasution, kembali ke Indonesia dan bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Pada tahun 1955 ia bertugas menjadi Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai pertemuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Prancis serta Inggris.

Selang itu, Harun Nasution kembali ke Mesir melanjutkan studinya di Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada.

Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar ‘Magister of Art (MA)’ dalam Studi Islam dengan judul tesisnya ‘The Islamic State in Indonesia : The Rise of Ideology, The Movement for Its Creation and The Theory of The Masjumi’ pada tahun 1965.

Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan Almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul ‘The Pleace of Reason in Abduh’s Theology : Its Impact on His Theological System and Views’.

Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang Akademis sebagai Dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi Dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975).

Kegiatan Akademis tersebut dirangkapnya dengan menjabat sebagai rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.

Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqih), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum Muslimin.

Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak terkecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy’ariyah.

Hal itu menurutnya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.

Semua pemikirannya itu terlihat dalam buku-buku yang telah ia tulis bahkan beberapa bukunya menjadi buku teks terutama dilingkungan IAIN yaitu Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (1974) 2 jilid, Teologi Islam (1977), FIlsafat Agama (1987), Filsafat dan Mistik dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam (1980) dan Muhammad Abduh dan Teologi Mu’tazilah (1987).

Alkisah, mengapa buku-buku Harun Nasution menjadi teks terutama di lingkungan IAIN, semua itu adalah hasil rapat Rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, DEPAG pun memutuskan buku “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai “buku yang akan bermanfaaat terutama untuk mata kuliah pengantar agama Islam di mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN, apapun fakultas dan jurusannya.”

Pada tanggal 3 Desember 1975, dia dilaporkan oleh sahabatnya sendiri yaitu, Prof. HM Rasjidi menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa Eselon tertinggi Depag. Rasjidi menulis, “laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku saudara Harun Nasution yang berjudul “Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya” saya menjelaskan kritik saya pasal demi pasal dan menunjukan bahwa gambaran Dr. Harun Nasution tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh kementrian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi di jadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”

Cara pandang dan cara penyajian Harun terhadap agama Islam, memang gaya khas Orientalis Barat, yang menempatkan semua agama pada posisi fenomena yang sama. Dia, misalnya menggambarkan perkembangan teologi sebagai hasil evolusi, dari dinamisme, animisme, politeisme atau heboteisme, lalu monoteisme, yang dia katakana juga sebagai agama tauhid.

Prof. Rasjidi menulis kritiknya terhadap cara Harun dalam menyajikan gambaran tentang agama-agama : cara penyajan dalam buku ini merupakan cara pengarang Barat yang dalam pikiran mereka menyimpan suatu perasaan bahwa semua agama itu pada dasarnya sama dan merupakan gejala sosial yang dapat ditemukan pada tiap-tiap kelompok manusia. Penganjur kelompok ini adalah Sarjana Prancis yang bernama Emile Durkheim (1858-1917)

Jika dicermati, cara yang ditempuh oleh Harun memang tidak menanamkan keyakinan akan kebenaran Islam, sebagai agama yang terakhir. Cara-cara orientalis Barat dalam studi agama tersebar pada berbagai bagian dari buku Harun Nasution tersebut. Masalahnya, Rasjidi memang membentur tembok.

Rasjidi mengaku tidak terlalu mencermati pemikiran Harun. Ia baru mengetahui corak pemikiran Harun setelah pulang dari McGill. Menurut Rasjidi, Harun bukan hanya kurang kritis terhadap pemikiran Orientalis tetapi malah mengikuti dan mengembangkannya di Indonesia.

Kata Rasjidi, “Menurut penilaian saya, Harun Nasution kurang kritis dalam menerima kuliah di Universitas itu. Di Islamic studies, di negara-negara Barat, pengaruh Orientalisme pada umumnya besar.”

Dan, akhirnya perjalanan panjang seorang Prof. Dr. Harun Nasution harus berakhir, ia wafat di Jakarta tanggal 18 September 1998 . (Sumber: Islam Rasional, gagasan dan pemikiran, Mizan, 1995, Cet.Departemen Agama R.I. Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: CV Anda Utama, 1993 h. 348; Riwayat Hidup Harun Nasution dalam Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986), h. 157; Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha, “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah,” dalam Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution (Cet.I, Jakarta: LSAF, 1989), h. 3-22; Buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia)

Artikel ini ditulis oleh: