Jakarta, Aktual.com – Aksi Bela Islam III pada Jumat (2/12) lalu yang menggelar sholat Jumat berjamaah mengisahkan ketegasan umat Islam dalam menuntut kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Hal ini tercetus dari isi khutbah dari Habib Riziq Shihab saat menjadi khotib pada Jumatan lalu. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mendengar isi khutbah itu mestinya mau melaksanakan isi khutbah itu.
“Saya melihat, khotbah Jum’at Habib Rizieq luar biasa. Kupas tuntas tanpa basa-basi, dia mengingatkan pemimpin, bahwa di atas Konstitusi ada hukum Allah. Karena hukum Allah tidak bisa dan tidak mungkin direvisi oleh manusia. Tetapi konstitusi kapan saja dapat direvisi oleh manusia itu sendiri,” cetus Chazali Situmrang, Minggu (4/12).
Dosen FISIP-UNAS itu menyatakan khutbah Imam Besar FPI Habib Rizieq itu menjadi peringatan kepada Negara ini agar jangan membuat konstitusi yang bertentangan dengan hukum Allah, jika ingin selamat dunia dan akhirat.
Menurutnya, Habib Rizieq sangat lugas dan terang benderang menyampaikan isi khutbahnya. Tidak ada kalimat bersayap, jelas dasar ayatnya, dan jelas juga maksudnya, dan jelas juga apa akibatnya jika bangsa ini tidak mendapat Ridho Allah.
“Dan seluruh isi khotbah Jum’at itu didengar oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kita tidak tahu bagaimana perasaan yang berkecamuk di dalam hati Presiden dan Wakil Presiden mendengarkan isi khotbah Jum’at tersebut,” jelasnya.
Untuk itu, kata dia, penegak hukum dalam memproses kasus Ahok ini harus nerjalan seadil-adilnya. Jokowi diminta harus membela umat Islam bukan lagi melindungi Ahok.
“Seperti kata Riziq, Bapak mestinya membela dan lindungi umat ini yang Bapak juga ada didalamnya. Maka, hukum dan penajarakan penista agama yaitu Ahok demi keadilan dan persamaan di depan hukum,” tegasnya.
Karena jutaan umat Islam yang menggelar aksi kemarin adalah rakyat Indonesia. “Mereka datang dari seluruh wilayah republik ini, dalam jumlah yang besar, tanpa biaya dari Negara. Bahkan pada awalnya dilarang dan tidak mendapatkan fasilitas transportasi umum walaupun mereka membayar,” tegas dia.
Menurut Chazali, selama 70 tahun lebih Indonesia merdeka, persoalan idiologi bangsa sudah sangat clear. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar lagi. Persoalan implementasi berbangsa dan bernegara inilah yang memang terus-menerus dikelola dengan baik.
Dan bagi rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, keinginannya sederhana saja yaitu jangan ganggu dan usik keimanan mereka kepada Allah, dan jangan ganggu hubungan spiritual mereka dengan ulamanya.
“Sehingga, persoalan penistaan agama adalah persoalan keyakinan beragama, dan juga persoalan idiologi bangsa. Tapi penanganan kasus ini banyak menemui tekanan kepentingan,” jelas dia.
Kepentingan itu adalah, kepentingan kekuasaan, kepentingan bisnis, kepentingan eksistensi partai, kepentingan asing, dan kepentingan individu-individu dalam rangka mencengkram Republik Indonesia dalam genggaman pihak berkepentingan tersebut.
Makanya, terkihat dalam tarikan pusaran kepentingan tersebut, posisi Presiden memang menjadi sulit. Tapi dalam momentum sakral aksi bela Islam III itu, yang dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden merupakan bentuk dukungan umat Islam kepada Presiden, Kapolri, Jaksa Agung dan lembaga pengadilan untuk tetap tegar dan tegas menegakkan hukum dengan seadil-adilnya dan selurus-lurusnya.
“Makanya, para penegak hukum kasus Ahok, penegak hukum harus siap berhadapan dan menghadapi tekanan-tekanan kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat dan rakyat Indonesia umumnya,” pungkas Chazali.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan