Selain itu, pada saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar sebagai wind fall. Pada saat harga ICP merosot pada kisaran USD 38 per barel pada 2016, Pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp 40 triliun.

Kalau potensi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp. 19 triliun dikompensasikan dengan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp 21 triliun (Rp 40 triliun–19 triliun). Sisa keuntungan itu masih sangat memadai untuk menutup potensi kerugian Pertamina, akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018.

Di luar wind fall yang dinikmati Pertamina, Pemerintah juga memberikan beberapa kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya adalah pemberian hak pengelolaan Blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018. Dengan pemberian non-cash asset Blok Mahakam, asset Pertamina betambah sebesar USD 9,43 miliar atau sekitar Rp 122,59 triliun. Adanya tambahan asset sebesar itu, total asset Pertamina kini naik menjadi USD 54,95 miliar atau sekitar Rp 714,35 triliun.

Dengan keputusan Pemerintah menetapkan share down 39% saham Blok Mahakam, Pertamina akan memeproleh cash inflow dalam bentuk fresh money sekitar USD 3,68 miliar atau sebesar Rp 47,84 triliun. Berdasarkan data produksi sebelumnya, potensi pendapatan netto, setelah dikurangi cost recovery, selama tahun 2018 diprediksikan akan mencapai sebesar USD 317 juta atau sekitar Rp 4,12 triliun.

Kalau diperhitungkan cash inflow dari windfall 2016 sebesar Rp 40 triliun, dari share down saham Blok Mahakam pada awal 2018 sebesar Rp 47,84 triliun, dan potensi pendapatan bersih pengelolaan Blok Mahakam pada akhir 2018 sebesar Rp 4,12 triliun, maka total cash inflow pada 2016-2018 sebesar Rp 91,96 triliun.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta