Pawang gajah (mahout) memandikan gajah jinak sebelum melakukan patroli gajah liar di kawasan Conservation Response Unit (CRU) Serba Jadi, Aceh Timur, Aceh, Minggu (27/3). Sebanyak empat ekor gajah jinak Sumatera tersebut diturunkan untuk melakukan patroli sekaligus untuk mengurangi konflik gajah dengan manusia yang terus meningkat di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Gajah Sumatera disebutkan punya kecenderungan rentan untuk punah. Temuan itu didapat dari penelitian “deoxyribonucleic acid” (DNA) gajah sumatera yang diambil dari sampel kotoran beberapa habitat di Taman Nasional Tesso Nilo Riau.

Hasil penelitian itu dipaparkan WWF Indonesia dan Lembaga Biologi Molekular Eijkman dan lembaga riset di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.

Ekolog Satwa Liar WWF Indonesia Sunarto mengatakan penelitian dilakukan sejak 2012. Dengan menggunakan metode sistematis, mengumpulkan sampel DNA dari kotoran gajah di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya.

Dari analisis sampel, ujar dia, berhasil mengindentifikasi 113 individu yang berbeda. “Dan dapat memperkirakan jumlah minimal populasi gajah sumatera di Tesso Nilo pada saat sampel diambil sekitar 154 individu,” kata dia, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (12/8).

Selain mengetahui jumlah populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), menurut dia, hasil studi itu juga mengungkap adanya pergerakan beberapa gajah ke beberapa lokasi yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Sunarto menyebutkan bahwa hasil penelitian DNA gajah yang diperkuat dengan studi pergerakan gajah memakai bantuan kalung GPS, juga berhasil mengungkap pergerakan kelompok gajah Tesso Nilo yang terfokus di luar taman nasional, yakni di kawasan hutan tanaman industri (HTI).

“Hal itu diduga disebabkan oleh tingginya aktivitas manusia, khususnya perambahan yang terjadi di dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo,” ujar dia lagi.

Wakil Kepala untuk Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekular Eijkman Herawati Sudoyo mengatakan bahwa pihaknya mengumpulkan bermacam informasi tentang gajah-gajah di Indonesia, seperti ukuran populasi, profil genetik individu, keragaman genetik, rasio seks, serta perpindahan individu gajah.

“Data genetika yang sangat akurat juga dapat digunakan untuk mengenali setiap individu, sehingga dapat membantu penanganan kasus kejahatan pada satwa, seperti kasus pembunuhan gajah Yongki di Lampung beberapa waktu lalu,” kata dia pula.

Sebelumnya, seekor gajah sumatera bernama Yongki dibunuh. Gajah tersebut dilatih sebagai anggota Flying Squad di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk menghalau gajah liar di kawasan itu.

“Eijkman Institute saat ini telah memiliki spesimen DNA gajah Yongki sehingga bila ada temuan barang bukti gading gajah, kami bisa mencocokkan apakah gading itu milik Yongki. Informasi ini kemudian bisa digunakan untuk melacak dan menindak pemilik, pedagang gading maupun pelaku yang membunuh Yongki,” ujar Hera.

Dia lebih lanjut menjelaskan, penggunaan teknik genetika molekular untuk konservasi satwa di Indonesia baru dilakukan terbatas untuk gajah sumatera pada bentang alam TN Tesso Nilo, Bukit Tigapuluh, Way Kambas, dan Bukit Barisan Selatan.

“Penggunaan teknik genetika ini tidak perlu bersinggungan langsung dengan satwa sehingga potensi korban satwa dan manusia dapat dihindari, dan juga tidak menyebabkan stres pada satwa,” ujar dia pula. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Antara