Yogyakarta, Aktual.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pelaksanaan Pilkada serentak tahap kedua pada 15 Februari 2017 mendatang yang akan diikuti 15 Kabupaten dan Kota di wilayah Papua. Namun, proses demokrasi di daerah tidak berlangsung sekondusif daerah lain.

“Secara umum, Papua menjadi wilayah dengan tingkat kekerasan tertinggi saat Pilkada berlangsung, itu karena parpol yang ada hanya bersifat formal-administratif, yang paling kuat justru kelompok-kelompok etnis,” ungkap Dr. M. Zulfan Tadjoeddin, peneliti dari University of Western Sidney, di Yogyakarta, Senin (18/4).

Kesimpulan ini didapat melalui riset yang dilakukan Zulfan bersama Dr Samsu Rizal Panggabean MSc melalui metode Electoral Hostility Index (EHI). Sistem ini mengukur tingkat kekerasan Pikada di berbagai wilayah di Indonesia sejak mulai penyelenggaraannnya tahun 2005. Hasilnya, Pilkada tahap kedua di Papua dinobatkan menjadi wilayah terbanyak terjadinya kekerasan.

Kekerasan atau konflik adalah hal yang sangat lumrah terjadi di Papua saat Pilkada berlangsung, aparat setempat selalu stand by dua minggu sebelum Pilkada diselenggarakan, sebab kericuhan terjadi tidak hanya pada saat hari H pelaksanaan Pilkada saja.

Salah satu faktor penyebab utama adalah dari kelompok etnis. Penduduk asli dan pendatang sangat dibedakan dan cenderung saling mendiskriminasi. Hal ini terlihat pada pembedaan tingkah laku dan karakteristik antara masyarakat di daerah gunung dan di pantai.

“Orang yang bermukim di gunung biasanya dianggap sebagai pendatang di Papua, sedangkan penduduk di pantai memang dianggap penduduk asli. Oleh karena itu frekuensi kekerasan di gunung lebih banyak daripada di pantai,” papar Zulfan.

Di kesempatan yang sama, Dr Samsu Rizal Panggabean MSc yang turut melakukan observasi langsung terhadap Pilkada di Papua, menerangkan bahwa sebelum kekerasan terjadi, para pekerja politik lokal biasanya mengadakan pertemuan di pemukiman-pemukiman warga. Dalam pertemuan itu beberapa tokoh menyampaikan pidato provokatif yang memanas-manasi situasi serta menjelek-jelekkan komunitas agama tertentu sebagai musuh.

Pertemuan semacam inilah, menurut Samsu yang memobilisasi anak muda disana agar bersedia melakukan kekerasan. Aktivitas organisasi nasionalis agama tertentu lainnya mengumpulkan massa dan memberi uang, rokok, minuman keras dan senjata kepada para pemuda yang taraf ekonominya miskin.

“Politisi dan preman bekerja sama sangat rapih, yang satu menyediakan pengaruh dan dana, yang lain menyediakan tenaga pelaku kerusuhan. Bahkan, saat kericuhan berlangsung, tak jarang aparat kepolisian membiarkan, mendukung hingga ikut menyerang,“ papar Samsu.

Meski demikian, menurut Samsu, tidak semua daerah di Papua selalu terjadi kekerasan setiap pilkada. Tiap daerah diukur tingkat kerawanannya melalui metode Electoral Hostility Index ini. Terdapat beberapa daerah yang relatif aman dan terhindar dari kekerasan, seperti Papua Barat. Empat Kabupaten dan Kota yang akan melaksanakan Pilkada di wilayah ini adalah kota Sorong, Tambarauw, Maybrat dan Kabupaten Sorong.

Sebelas kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Papua juga turut menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah serentak tahap kedua, antara lain Nduga, Lani Jaya, Sarmi, Mappi, Tolikara, Kep Yapen, Jayapura, Intan Jaya, Puncakjaya, Dogiyai serta Kota Jayapura.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis