Jakarta, aktual.com – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkap kembali keputusan penting Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) tahun 1965 yang mengukuhkan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, sebagai Pendekar Kemerdekaan dan Pahlawan Islam.
Menurutnya, gelar tersebut merupakan bukti pengakuan dunia Islam atas peran Bung Karno dalam membela bangsa-bangsa tertindas dan memperjuangkan kemerdekaan umat.
“Dalam perjuangannya melawan Belanda, Bung Karno banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang membangkitkan semangat. Inilah yang ingin kita luruskan dari sejarah: Bung Karno dan Islam,” ujar Hasto di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Rabu (22/10), dalam peringatan Hari Santri 2025 bertema Santri Berjuang: Ajaran Bung Karno, Warisan Kemerdekaan dan Kontribusi Generasi Muda.
Dalam kesempatan itu, Hasto mengisahkan hubungan ideologis Bung Karno dengan KH Hasyim Asy’ari yang melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
“Resolusi itu menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban agama bagi setiap muslim, dan menjadikan penjajah sebagai musuh agama dan bangsa,” jelasnya.
Menariknya, semangat jihad ini juga menginspirasi gerakan Islam di luar negeri. Pendiri Pakistan, Muhammad Ali Jinnah, disebut mengeluarkan resolusi serupa setelah mendengar kabar dari Indonesia.
“Akibatnya, sekitar 600 tentara muslim membelot dari tentara Inggris untuk membela Indonesia yang baru merdeka. Banyak dari mereka gugur sebagai syuhada,” kata Hasto.
Sebagai penghormatan, Bung Karno kemudian membangun Masjid Syuhada di Yogyakarta—sebuah simbol penghargaan bagi mereka yang berkorban demi kemerdekaan bangsa.
“Bahkan sopir Bung Karno saat ditangkap Belanda pun bernama Syuhada. Semua ini melambangkan pertemuan agung antara Islam dan nasionalisme,” imbuhnya.
Hasto menekankan, keislaman Bung Karno bersifat universal dan progresif. Sang proklamator banyak berguru dari pemikiran tokoh-tokoh Islam dunia seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Arabi Pasha, Mustafa Kamil, hingga Muhammad Abduh.
“Dari sanalah lahir keberpihakan Bung Karno terhadap bangsa-bangsa tertindas,” ujar Hasto.
Pasca Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, Bung Karno aktif membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara Islam seperti Aljazair, Maroko, dan Sudan.
“Bung Karno bahkan menyewakan rumah di Jalan Serang, Menteng, untuk para pejuang Aljazair, dan menyelundupkan senjata yang semula untuk Irian Barat demi membantu mereka,” tutur Hasto.
Atas kontribusi itu, Konferensi Islam Asia Afrika 1965 menobatkan Bung Karno sebagai Pendekar dan Pembebas Bangsa Islam — sebuah pengakuan internasional yang kini jarang disinggung dalam buku sejarah Indonesia.
Hasto menegaskan bahwa komitmen Bung Karno terhadap keadilan dan pembelaan umat tertindas menjadi fondasi ideologis PDI Perjuangan hingga kini.
“Kalau Bung Karno masih hidup, peristiwa seperti Gaza tidak akan pernah terjadi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kesinambungan nilai antara Bung Karno dan putrinya, Megawati Soekarnoputri.
“Ketika menyusun kabinet tahun 2014, Ibu Mega mengingatkan presiden terpilih agar memahami kesadaran historis itu—mengembalikan kekuatan ekonomi rakyat dari Muhammadiyah, NU, dan seluruh umat,” jelas Hasto.
Menurutnya, semangat Islam kebangsaan ala Bung Karno harus dihidupkan kembali, terutama dalam menghadapi tantangan global yang menguji kedaulatan dan kepribadian bangsa.
Pernyataan Hasto membuka kembali diskursus penting yang lama tenggelam dalam sejarah: hubungan antara nasionalisme dan Islam dalam visi politik Bung Karno.
Bung Karno bukan hanya tokoh sekuler dalam arti politik, tetapi juga seorang mujahid pemikiran yang menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber moral perjuangan kebangsaan.
Bagi analis politik dan sejarah, langkah PDIP menampilkan Bung Karno dalam bingkai Islam bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan juga strategi ideologis. Di tengah menguatnya politik identitas dan pergeseran geopolitik dunia Islam, narasi “Bung Karno sebagai Pendekar Islam” menjadi upaya reaktualisasi nasionalisme religius Indonesia—suatu sintesis antara iman, ilmu, dan kebangsaan.

















