Jakarta, Aktual.com — Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyagan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf menilai, surat edaran ujaran kebencian atau hate speech tidak bisa dikenakan kepada para pengkritik kekuasaan. Hate speech itu hanya bisa dikenakan jika hal itu menghina tuhan, agama atau nabi.
“Kalau seperti yang diisiukan kan masyarakat juga sepertinya akan kena pasal yang bisa dianggap menghina penguasa. Ini yang bisa ditafsir luas dan karet karena tidak ada ukuran yang jelas,” kata dia ketika dihubungi, Jumat (6/11).
Kritik kepada para pejabat atau kekuasaan, menurut Asep justru menghidupkan demokrasi. Hal ini, sambung dia, biasa di dalam demokrasi. “Kritik ataupun berbagai bentuk ekpresi lainnya yang dilontarkan masyarakat kepada para pejabat atau kekuasaan adalah bentuk dari ekspresi ketidakpuasan. Ini kan biasa saja,” kata dia.
Penguasa menurutnya juga tidak perlu takut dikritik karena jika memang penguasa itu amanah, maka tentunya kritik pun tidak akan banyak. “Saya membaca ada office boy di Probolinggo, yang kena pasal karena membuat ‘meme’ yang dianggap menghina polisi. ‘Meme’ seperti itu kan tidak akan muncul kalau masyarakat puas akan kinerja polisi,” kata dia.
Dia pun mengingatkan Kapolri Jendral (Pol) Badrodin Haiti, pasal penghinaan yang dulu diatur dalam pasal 95 KUHP telah dihapus oleh MK. “Dulu ada pasal perbuatan tidak menyenangkan. Itu sudah dicabut oleh MK. Kalau pasal ini coba dihidupkan kembali lewat SE Kapolri maka ini ancaman bagi orang yang kritis,” ujar dia.
Dia pun mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjaga kebebasan berekspresi masyarakat. “Dulu kan Jokowi naik daun juga karena peran sosial media.Kenapa sekarang menjadi takut dan khawatir dengan berbagai kritik yang muncul di sosial media?” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu