Properti Yogya
Properti Yogya

Yogyakarta, Aktual.com — Provinsi DIY menggunakan model tata ruang yang disebut ‘corridor development’ atau ‘pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu’. Dalam konteks ini, kegiatan pembangunan lebih menonjolkan peran swasta untuk berinvestasi dalam skala prioritas.

Namun, dengan konsep yang diusung, dalam beberapa tahun terakhir justru pembangunan infrastruktur komersil ini menjurus ‘berlebihan’ hingga mendominasi tata ruang wilayah yang ada, terutama di wilayah Kota Yogya dan Kabupaten Sleman. Hal itu terlihat dengan banyaknya pembangunan proyek properti seperti apartemen dan kondominium yang bertebaran di pelbagai sudut pemukiman kota.

Tak jarang, dari banyaknya pengembang swasta yang menancapkan bisnisnya di daerah ini, terdapat pengembang-pengembang nakal dan tidak bertanggung jawab, mensiasati berbagai aturan yang sepatutnya menjadi kewajiban mereka dalam proses pendirian bangunan komersil.

“Dalam bisnis ini, pengembang berani berspekulasi untuk menarik dana dari konsumen. Mereka mengiming-imingi masyarakat dengan berbagai macam penawaran harga dan fasilitas menarik walau sesungguhnya produk yang ditawarkan itu ‘bodong’,” ungkap Rizky Fatahillah, Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Sabtu (9/4).

Banyak kasus yang terjadi, seperti sudah membeli tapi bangunannya belum berdiri, masih dalam tahap pengujian dokumen lingkungan, masih dalam proses Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) yang itu sifatnya masih tahap awal sekali, padahal di tahap selanjutnya pun harus ada persetujuan dari warga sekitar proyek terkait Izin Lingkungan.

“Karenanya saya menghimbau konsumen properti di Yogyakarta agar mengikuti berbagai macam perkembangan mengenai status properti yang ditawarkan serta mencari informasi lengkap tentang izin dan legalitasnya,” tegas Rizky.

Pembelian properti yang perizinannya bermasalah justru akan menguntungkan para pengembang yang notabene tidak jujur. Jika warga sekitar proyek tidak menyetujui hasil uji dokumen lingkungan, maka Izin Lingkungan selanjutnya tidak dapat diterbitkan, termasuk setelahnya Izin Mendirikan Bangunan. Ketika alur perizinan tersebut telah dipenuhi secara sah oleh pihak pengembang dan fisik bangunan telah berdiri sepenuhnya, barulah kegiatan bisnis dan usaha dalam hal ini promosi dan jual beli dapat dilakukan.

LBH Yogya sendiri saat ini tengah mengadvokasi gugatan warga dalam kasus Izin Lingkungan Apartemen Uttara, yang dibangun disela pemukiman warga Kelurahan Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman.

Walau tengah berkasus, pihak Apartemen Uttara sejak pendirian pada 2014 hingga kini yang belum selesai membangun terus menjual unit apartemen mereka kepada pihak konsumen. Dikhawatirkan, bila dikemudian hari gugatan warga dimenangkan maka yang paling dirugikan adalah pihak konsumen yang telah membeli karena keberadaan apartemen tersebut akan otomatis ilegal secara hukum.

Hal serupa juga disampaikan Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta, Widiyanto, Sabtu (9/4). Ia mencermati, konsumen properti adalah segmen masyarakat kalangan menengah ke atas, dimana kecenderungan dalam membeli properti bukan karena tidak memiliki rumah namun hanya berorientasi pada investasi.

“Konsumen kelas atas ini cenderung tidak hati-hati dan tidak teliti dalam mencari informasi properti yang ditawarkan, tidak peduli dengan aspek legalitas, tidak melihat aspek lain seperti masalah lingkungan, sehingga kondisi ini ‘dimanfaatkan’ para pengembang nakal untuk menipu,” Ungkapnya.

Dalam kasus pembelian properti seperti apartemen, kondominium atau sejenisnya, konsumen dihadapkan pada situasi yang daya tawarnya lemah karena membeli sesuatu yang masih belum jelas baik bangunan fisik maupun perizinan. Konsumen diharapkan tidak membayar lunas diawal agar di kemudian hari jika terjadi penipuan atau permasalahan perizinan maka kerugian yang dialami tidak terlalu besar.

“Dalam proses ini kadang pengembang begitu mudah menjanjikan didepan, semuanya beres, padahal dalam proses, dan dalam proses itu syarat-syarat yang menjadi kewajiban pengembang tidak secara lengkap dipenuhi,” tambahnya.

Lebih lanjut dijelaskan, sekitar 75 persen konsumen properti di Yogyakarta justru berasal dari luar daerah. Mereka hanya menempati unit properti yang dibeli juga hanya untuk berakhir pekan.

Hal ini diharapkan menjadi perhatian serius dari Pemerintah Daerah Yogyakarta, pembatasan dan penataan ruang harus kembali dievaluasi. Pemda harus menyadari bahwa masyarakat Yogya secara luas membutuhkan proteksi dari perkembangan properti yang sangat masif terjadi sekarang ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Eka