Ditambahkan Pratama, kini banyak juga dipakai beberapa aplikasi pepesanan instant seperti WeChat dan Bee Messenger yang bisa memberitahu “calon pembeli” bahwa ada “anak penghibur” yang siap dalam area beberapa kilometer. Lalu mereka bisa saling kontak dan menawarkan real time, saat itu juga.

“Aplikasi chat dengan model base location ini mulai banyak dipakai, dan nampaknya juga digunakan oleh para predator anak. Tidak hanya bertransaksi, mereka juga mengincar pemakai aplikasi yang masih dibawah umur,” terang chairman lembaga keamanan cyber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini.

Para predator anak ini biasa mencari mangsanya lewat media sosial dan aplikasi chat. Karena itu orangtua sudah sepantasnya membatasi akses anak ke perangkat gadget. Bila terpaksa memakai, anak harus dipahamkan bahayanya.

“Untuk mencegah hal ini terus berulang memang tidak bisa hanya dengan pendekatan hukum. Upaya pemerintah juga harus dilengkapi dengan edukasi dan sosialisasi keamanan bermedia sosial berinternet. Tidak hanya pada anak sebagai korban, tapi jauh lebih penting pada para orang tua,” jelasnya.

Pratama sendiri melihat ini menjadi kerja besar pemerintah. Dalam wilayah cyber yang relatif susah dipantau dan borderless (tanpa batas wilayah), para pelaku bisa dari mana saja, bahkan luar negeri. Karena itu pemerintah harus melakukan pendekatan kultural di masyarakat untuk bisa lebih luas menjangkau dan meningkatkan kesadaran keamanan cyber di seluruh lapisan.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka